Monday, April 8, 2013
I.
Sejarah
Perpajakan di Indonesia
Pada mulanya pajak merupakan suatu upeti (pemberian secara
cuma-cuma) namun sifatnya merupakan suatu kewajiban yang dapat dipaksakan yang
harus dilaksanakan oleh rakyat (masyarakat) kepada seorang raja atau penguasa.
Saat itu, rakyat memberikan upetinya kepada raja atau penguasa berbentuk natura
berupa padi, ternak, atau hasil tanaman lainnya seperti pisang, kelapa, dan
lain-lain. Pemberian yang dilakukan rakyat saat itu digunakan untuk keperluan
atau kepentingan raja atau penguasa setempat dan tidak ada imbalan atau
prestasi yang dikembalikan kepada rakyat karena memang sifatnya hanya untuk
kepentingan sepihak dan seolah-olah ada tekanan secara psikologis karena
kedudukan raja yang lebih tinggi status sosialnya dibandingkan rakyat.
Dalam perkembangannya, sifat upeti yang diberikan oleh
rakyat tidak lagi hanya untuk kepentingan raja saja, tetapi sudah mengarah
kepada kepentingan rakyat itu sendiri. Artinya pemberian kepada rakyat
atau penguasa digunakan untuk kepentingan umum seperti untuk menjaga keamanan
rakyat, memelihara jalan, pembangun saluran air, membangun sarana sosial
lainnya, serta kepentingan umum lainnya.
Perkembangan dalam masyarakat mengubah sifat upeti
(pemberian) yang semula dilakukan cuma-cuma dan sifatnya memaksa tersebut, yang
kemudian dibuat suatu aturan-aturan yang lebih baik agar sifatnya yang
memaksa tetap ada, namun unsur keadilan lebih diperhatikan. Untuk memenuhi
unsur keadilan inilah maka rakyat diikutsertakan dalam membuat aturan-aturan
dalam pemungutan pajak, yang nantinya akan dikembalikan juga hasilnya untuk
kepentingan rakyat sendiri.
Di Indonesia, sejak zaman kolonial Belanda ternyata telah
diberlakukan cukup banyak undang-undang yang mengatur mengenai pembayaran
pajak, yaitu sebagai berikut:
- Ordonansi
Pajak Rumah Tangga;
- Aturan Bea Meterai;
- Ordonansi Bea Balik Nama;
- Ordonansi Pajak Kekayaan;
- Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor;
- Ordonansi Pajak Upah;
- Ordonansi Pajak Potong;
- Ordonansi Pajak Pendapatan;
- Undang-undang Pajak Radio;
- Undang-undang Pajak Pembangunan I;
- Undang-undang Pajak Peredaran.
Kemudian diundangkan lagi beberapa undang-undang, antara
lain:
- UU
Pajak Penjualan Tahun 1951 yang diubah dengan UU No. 2 Tahun 1968;
- UU No. 21 Tahun 1959 tentang Pajak Dividen yang diubah
dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1967 tentang Pajak atas Bunga, Dividen,
dan Royalti;
- UU No. 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara
dengan Surat Paksa;
- UU No. 74 Tahun 1958 tentang Pajak Bangsa Asing;
- UU No. 8 Tahun 1967 tentang Tata Cara Pemungutan PPd,
PKK, dan PPs atau Tata Cara MPS-MPO.
Terlalu banyaknya undang-undang yang dikeluarkan
mengakibatkan masyrakat mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya. Selain itu,
beberapa undang-undang di atas ternyata dalam perkembangannya tidak memenuhi
rasa keadilan, dan masih memuat unsur-unsur kolonial. Maka pada tahun 1983,
Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat sepakat melakukan
reformasi undang-undang perpajakan yang ada dengan mencabut semua undang-undang
yang ada dan mengundangkan 5 (lima) paket undang-undang perpajakan yang
sifatnya lebih mudah dipelajari dan dipraktikkan serta tidak menimbulkan
duplikasi dalam hal pemungutan pajak dan unsur keadilan menjadi lebih
diutamakan, bahkan sistem perpajakan yang semula official assessment
diubah menjadi self assessment. Kelima undang-undang tersebut adalah:
- UU
No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP);
- UU
No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh);
- UU
No. 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM;
- UU
No. 12 Tahun1985 tentang PBB (masih menggunakan official assessment);
- UU
No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (BM).
Pada tahun 1994, empat dari kelima undang-undang di atas
kemudian mengalami perubahan dengan mengubah beberapa pasal yang dipandang
perlu dengan undang-undang, yaitu:
- UU
No.6 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 9 Tahun 1994;
- UU
No. 7 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 10 Tahun 1994;
- UU
No. 8 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 11 Tahun 1994;
- UU
No. 12 Tahun 1985 diubah dengan UU No. 12 Tahun 1994;
Kemudian pada tahun 1997 pemerintah membuat beberapa
undang-undang yang berkaitan dengan masalah perpajakan untuk mendukung
undang-undang yang sudah ada, yaitu:
- UU
No. 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian dan Sengketa Pajak;
- UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah;
- UU No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan
Surat Paksa;
- UU No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan
Pajak;
- UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan.
Adanya perkembangan ekonomi dan masyarakat yang terus
menerus dan untuk memberikan rasa keadilan dan pelayanan kepada Wajib Pajak,
maka pada tahun 2000 pemerintah kembali mengubah undang-undang perpajakan,
yaitu:
- UU
No. 16 Tahun 2000 tentang KUP;
- UU
No. 17 Tahun 2000 tentang PPh;
- UU
No. 18 Tahun 2000 tentang PPN dan PPnBM;
- UU
No. 19 Tahun 2000 tentang PPSP;
- UU
No. 21 Tahun 2000 tentang BPHTB;
- UU
No. 34 Tahun 2000 tentang PDRD; serta
- Peraturan
Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai.
Kemudian pada tahun 2002, dengan menimbang bahwa Badan Penyelesaian
Sengketa Pajak belum merupakan badan peradilan yang berpuncak di Mahkamah Agung
maka dibentuklah suatu Pengadilan Pajak dengan UU No. 14 Tahun 2002 sebagai
pengganti UU No. 17 Tahun 1997.
Perubahan terakhir undang-undang
perpajakan baru-baru ini dilakukan pada tahun 2007 dan 2008 yang menghasilkan
UU KUP No. 28 Tahun 2007 yang berlaku mulai tahun 2008 dan UU PPh No. 36 Tahun
2008 yang berlaku mulai tahun 2009. Namun, dilatarbelakangi adanya sunset
policy beberapa waktu lalu, maka UU KUP diperbaharui lagi dengan adanya UU
No. 16 Tahun 2009 sebagai penetapan Perpu No. 5 Tahun 2008 yang hanya mengubah
satu bunyi ketentuan Pasal 37A ayat (1) UU KUP No. 28 Tahun 2007.UU
PPN/PPNBM No. 42 tahun 2009 yg berlaku I April 2010
II.
Pengertian
Pajak, Retribusi dan Sumbangan
II.I Pajak
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara
berdasarkan undang-undang (sehingga dapat dipaksakan) dengan tiada
mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut berdasarkan norma-norma
hukum guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk
mencapai kesejahteraan umum.
Jadi, Pajak merupakan hak prerogatif pemerintah, iuran wajib
yang dipungut oleh pemerintah dari masyarakat (wajib pajak) untuk
menutupi pengeluaran rutin negara dan biaya pembangunan tanpa balas jasa
yang dapat ditunjuk secara langsung berdasarkan undang-undang.
Terdapat bermacam-macam batasan atau definisi tentang
"pajak" yang dikemukakan oleh para ahli diantaranya adalah :
- Menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani “pajak adalah
iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh
yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan
tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang
gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung
tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan”.
- Menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH “ pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang
dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang
langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran
umum”. Definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai
berikut: “Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas
Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk
membiayai public investment”.
- Sedangkan menurut Sommerfeld Ray M., Anderson
Herschel M., & Brock Horace R, “pajak adalah suatu pengalihan sumber
dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum,
namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih
dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar
pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan”.
Pajak dari perspektif ekonomi dipahami
sebagai beralihnya sumber daya dari sektor privat kepada sektor publik. Pemahaman ini
memberikan gambaran bahwa adanya pajak menyebabkan dua situasi menjadi berubah.
Pertama, berkurangnya kemampuan individu dalam menguasai sumber daya untuk
kepentingan penguasaan barang dan jasa. Kedua, bertambahnya kemampuan keuangan
negara dalam penyediaan barang dan jasa publik yang merupakan kebutuhan
masyarakat.
Sementara pemahaman pajak dari perspektif hukum menurut
Soemitro merupakan “suatu perikatan yang timbul karena adanya undang-undang
yang menyebabkan timbulnya kewajiban warga negara untuk
menyetorkan sejumlah penghasilan tertentu kepada negara, negara mempunyai
kekuatan untuk memaksa dan uang pajak tersebut harus dipergunakan untuk
penyelenggaraan pemerintahan”. Dari pendekatan hukum ini memperlihatkan bahwa
pajak yang dipungut harus berdsarkan undang-undang sehingga menjamin adanya
kepastian hukum, baik bagi fiskus sebagai
pengumpul pajak maupun wajib pajak sebagai pembayar pajak.
Pajak menurut Pasal 1 angka 1 UU No 6 Tahun 1983
sebagaimana telah disempurnakan terakhir dengan UU No.28 Tahun 2007 tentang
Ketentuan umum dan tata cara perpajakan adalah "kontribusi wajib kepada
negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung
dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
Dari berbagai definisi yang diberikan terhadap pajak baik
pengertian secara ekonomis (pajak sebagai pengalihan sumber dari sektor swasta
ke sektor pemerintah) atau pengertian secara yuridis (pajak adalah iuran yang
dapat dipaksakan) dapat ditarik kesimpulan tentang unsur-unsur yang terdapat
pada pengertian pajak antara lain sebagai berikut:
- Pajak dipungut berdasarkan undang-undang. Asas ini
sesuai dengan perubahan ketiga UUD 1945 pasal 23A yang menyatakan "pajak
dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur
dalam undang-undang."
- Tidak mendapatkan jasa timbal balik (konraprestasi
perseorangan) yang dapat ditunjukkan secara langsung. Misalnya,
orang yang taat membayar pajak kendaraantor akan melalui jalan yang sama
kualitasnya dengan orang yang tidak membayar pajak kendaraan bermotor.
- Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan
pembiayaan umum pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan,
baik rutin maupun pembangunan.
- Pemungutan pajak dapat dipaksakan. Pajak
dapat dipaksakan apabila wajib pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakan
dan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan perundag-undangan.
- Selain fungsi budgeter (anggaran) yaitu fungsi mengisi
Kas Negara/Anggaran Negara yang diperlukan untuk menutup pembiayaan
penyelenggaraan pemerintahan, pajak juga berfungsi sebagai alat untuk
mengatur atau melaksanakan kebijakan negara dalam lapangan ekonomi dan
sosial (fungsi mengatur / regulatif).
II.II Retribusi
Retribusi agak berbeda dengan pajak.
Dalam retribusi, hubungan antara prestasi yang dilakukan (dalam wujud
pembayaran) dengan kontraprestasi itu bersifat langsung. Pembayar retribusi
justru menginginkan adanya jasa timbale balik langsung dari pemerintah.
Contohnya, pembayaran air minum pada PAM, retribusi listrik, telepon, gas, uang
kuliah, dan sebagainya. Pengenaan retribusi berlaku umum dan dapat dipaksakan.
Misalnya retribusi terhadap listrik, apabila rakyat tidak membayar retribusi
listrik, maka aka nada tindakan-tindakan tertentu yang bertujuan sebagai
pemaksaan seperti pengenaan denda, pemutusan hubungan sementara, dan
sebagainya.
Berdasarkan
hal tersebut, maka karakteristik retribusi adalah:
a.
Retribusi dipungut dengan berdasarkan peraturan-peraturan (yang berlaku umum).
b.
Dalam retribusi, prestasi yang berupa pembayaran dari warga masyarakat akan
mendapatkan jasa timbal langsung yang ditujukan pada individu yang membayarnya.
c.
Uang hasil retribusi digunakan bagi pelayanan umum berkait dengan retribusi
yang bersangkutan.
d.
Pelaksanaannya dapat dipaksakan, biasanya bersifat ekonomis.
Retribusi daerah adalah pungutan
daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus
disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan pribadi
atau badan.
Retribusi Daerah dibagi menjadi tiga
golongan yaitu
a.
Retribusi Jasa Umum.
Objek retribusi ini beupa pelayanan
yang disediakan Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum
serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. Subjeknya adalah orang
pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan jasa umum yang
bersangkutan. Prinsip dan sasaran penetapan tarif jenis Retribusi Daerah adalah
berdasarkan kebijakan daerah dengan mempertimbangkan biaya penyediaan jasa yang
bersangkutan, kemampuan masyarakat, dan aspek keadilan. Retribusi jenis ini
misalnya: Retribusi Pelayanan Kesehatan, Retribusi Pelayanan Kebersihan,
Retribusi Biaya Cetak KTP dan Akte Catatan Sipil, Retribusi Pelayanan Pemakaman
dan Pengabuan Mayat, Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum, Retribusi
Pelayanan Pasar, Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor, Retribusi Pemerikasaan
Alat Pemadam Kebakaran, Retribusi Biaya Cek Peta, dan Retribusi Pengujian Kapal
Perikanan.
b.
Retribusi Jasa Usaha
Objek retribusi ini berupa pelayanan
yang disediakan oleh Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip komersial.
Subjeknya adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan
jasa umum yang bersangkutan. Prinsip dan sasaran penetapan tarif jenis
Retribusi Daerah adalah berdasarkan tujuan untuk memperoleh keuntungan yang
layak sebagaimana keuntungan yang pantas diterima oleh pengusaha swasta sejenis
yang beroperasi secara efisien dan berorientasi pada harga pasar. Retribusi
jenis ini misalnya: Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah, Retribusi Pasar
Grosir/Pertokoan, Retribusi Tempat Pelelangan, Retribusi Terminal, Retribusi
Tempat Khusus Parkir, Retribusi Tempat Penginapan, Retribusi Penyedotan Kakus,
Retribusi Rumah Potong Hewan, Retribusi Pelayanan Pelabuhan Kapal, Retribusi
Tempat Rekreasi dan Olah Raga, Retribusi Penyeberangan di Atas Air, Retribusi
Pengolahan Limbah Cair, dan Retribusi Penjualan Produksi Limbah.
c.
Retribusi Perizinan Tertentu
Objek retribusi ini yaitu kegiatan
tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi
atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian, dan
pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan SDA, barang, prasarana,
sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga
kelestarian lingkungan. Subjeknya adalah orang pribadi atau badan yang
memperoleh izin tertentu dari Pemerintah Daerah. Prinsip dan sasaran penetapan
tarif jenis Retribusi Daerah adalah berdasarkan pada tujuan untuk menutup
sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
II.III Sumbangan
Menurut Santoso Brotodiharjo, dalam
sumbangan itu terkandung pemikiran bahwa biaya-biaya yang dikeluarkan
untuk prestasi pemerintah tertentu tidak boleh dikeluarkan dari kas umum,
karena prestasi itu tidak ditujukan kepada penduduk seluruhnya, melainkan hanya
sebagian penduduk saja. Oleh karena itu, maka hanya golongan tertentu dari
penduduk ini sajalah yang diwajibkan membayar sumbangan ini. Sumbangan memang
hampir sama dengan retribusi, tapi keduanya memiliki perbedaan. Pada retribusi
dapat ditunjuk seseorang yang mengenyam kenikmatan kontraprestasi dari
pemerintah, sedangkan pada sumbangan, yang mendapat kontraprestasi ini hanya
satu golongan.
Apabila dikaitkan dengan pajak dan
retribusi, maka sumbangan memiliki karakteristik tertentu, antara lain:
a.
Sumbangan dipungut berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan mengikat
umum
b.
Dalam sumbangan, kontraprestasi diperoleh bukan karena membayarnya secara
individual melainkan secara kelompok.
c.
Pelaksanaannya dapat dipaksakan, tetapi tidak bersifat ekonomis seperti halnya
retribusi, melainkan hanya bersifat yuridis.
Unsur paksaan di dalam pajak lebih kuat dibandingkan pada
sumbangan. Dengan demikian, bagi mereka yang memenuhi syarat untuk dikenakan sumbangan
itu, dan bagi yang tidak mau memenuhinya (melanggar) dapat dikenakan
akibat-akibat hokum tertentu. Sedangkan paksaan retribusi yang bersifat
ekonomis pada hakikatnya diserahkan kepada pihak yang berkepentingan untuk
membayarnya maupun tidak. Misal: seseorang bebas mengikuti kuliah pada suatu
universitas, tetapi jika ia aka berbuat demikian, ia harus membayar uang
kuliahnya. Jika ia tidak mau membayar, maka tidak akan diperbolehkan untuk
masuk mengikuti kuliah.
Karakteristisk Pajak, Retribusi, Sumbangan
Pajak
|
Retribusi
|
Sumbangan
|
|
|
|
III.
Peran dan Fungsi Pajak dalam Pembangunan
III.I Peran
Pajak dalam Pembangunan
Penyediaan sarana dan prasarana publik merupakan peran
pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Semua sarana dan
prasarana tersebut berasal tersedia bila ada pajak. Sebagaimana diketahui bahwa
dalam APBN yang dibuat pemerintah terdapat tiga sumber penerimaan yang menjadi
pokok andalan yaitu:
a. Penerimaan dari
sektor pajak
b. Penerimaan dari
sektor migas (minyak dan gas bumi)
c. Penerimaan dari
sektor bukan pajak
Dari ketiga sumber diatas, penerimaan dari sektor pajak
merupakan sumber penerimaan terbesar negara. Penerimaan Migasyang dulu menjadi
andalan penerimaan negara, sekarang sudah tidak bisa diandalkan karena tidak
dapat diperbaharui. Penerimaan migas pada suatu waktu akan habis sedangkan dari
pajak selalu dapat diperbaharui sesuai dengan perkembangan ekonomi dan
masyarakat itu sendiri.
III.II Fungsi
Pajak
|
|
|
|
Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam
kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak
merupakan sumber pendapatan negara untuk
membiayai semua pengeluaran termasuk
pengeluaran pembangunan. Berdasarkan hal diatas maka pajak mempunyai beberapa
fungsi, yaitu:
- Fungsi anggaran (budgetair)
Sebagai sumber pendapatan negara, pajak
berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan
tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan
biaya. Biaya ini dapat
diperoleh dari penerimaan pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan
rutin seperti belanja pegawai, belanja
barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan
dari tabungan pemerintah,
yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah
ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan
pembangunan yang semakin meningkat dan ini terutama diharapkan dari sektor
pajak.
- Fungsi mengatur (regulerend)
Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui
kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat
untuk mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam
negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak.
Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk
yang tinggi untuk produk luar negeri.
- Fungsi stabilitas
Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk
menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat
dikendalikan, Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur
peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif
dan efisien.
- Fungsi redistribusi pendapatan
Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan
untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai
pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan
dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.
- Fungsi Demokrasi
Suatu fungsi yang merupakan salah satu penjelmaan atau
wujud sistem gotong-royong termasuk kegiatan pemerintahan dan pembangunan
kesejahteraan masyarakat. Hal ini lebih dikaitkan dengan hak seseorang apabila
menerima pelayanan pemerintah. Apabila seorang telah melakukan kewajibannya
membayar pajak, maka mempunyai hak untuk mendapatkan pelayananan yang baik atau
bisa melakukan protes terhadap pemerintah apabila tidak mendapat pelayanan yang
semestinya.
|
H
Hukum Pajak merupakan bagian dari Hukum Administrasi
Negara yang merupakan segenap peraturan hukum yang mengatur segala cara kerja
dan pelaksanaan serta wewenang dari lembaga-lembaga negara serta aparaturnya
dalam melaksanakan tugas administrasi negara.
IV.I Hubungan hukum Pajak dengan Hukum Perdata
Hukum perdata merupakan hubungan hukum yang terjadi
antara sesama anggota masyarakat, sedangkan hukum pajak merupakan hukum publik
yang mengatur hubungan hukum antara pemerintah (Direktorat Jenderal Pajak)
dengan masyarakat (wajib pajak). Hubungan yang jelas tampak adalah dalam hukum
pajak selalu mencari dasar kemungkinan pemungutan pajak berdasarkan perbuatan
hukum perdata. Hubungan lainnya, misalnya mengenai pengertian/terminologi dalam
hukum pajak, banyak dipengaruhi oleh hukum perdata.
IV.II Hubungan Hukum Pajak dengan Hukum Pidana
Hukum Pidana adalah bagian dari hukum publik yang
merupakan hubungan hukum yang terjadi antara masyarakat dengan pemerintah
berkaitan dengan masalah tindak pidana yang diatur dalam KUHP (Kitab
Undang-undang Hukum Pidana) yang banyak digunakan dalam peraturan undang-undang
pajak. Misalnya, ketentuan yang diatur dalam pasal 38 dan pasal 39 No. 6 tahun
1983 sebagaimana telah diubah dengan undang-undang No. 16 tahun 2000 yang
dengan jelas menyebutkan adanya sanksi pidana terhadap Wajib Pajak yang
melanggar ketentuan di bidang perpajakan
V. Syarat-Syarat Pemungutan Pajak
Tidaklah mudah untuk membebankan pajak pada masyarakat. Bila
terlalu tinggi, masyarakat akan enggan membayar pajak. Namun bila terlalu
rendah, maka pembangunan tidak akan berjalan karena dana yang kurang. Agar
tidak menimbulkan berbagai masalah, maka pemungutan pajak harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
Pemungutan pajak harus adil;
Seperti halnya produk hukum pajak pun mempunyai tujuan untuk menciptakan
keadilan dalam hal pemungutan pajak. Adil dalam perundang-undangan maupun adil
dalam pelaksanaannya. Contohnya:
- Dengan
mengatur hak dan kewajiban para wajib pajak;
- Pajak
diberlakukan bagi setiap warga negara yang memenuhi syarat sebagai wajib
pajak;
- Sanksi
atas pelanggaran pajak diberlakukan secara umum sesuai dengan berat
ringannya pelanggaran.
Pengaturan pajak harus berdasarkan UU;
Sesuai dengan Pasal 23 UUD 1945 yang berbunyi: "Pajak dan pungutan yang
bersifat untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang", ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan UU tentang pajak,
yaitu:
- Pemungutan
pajak yang dilakukan oleh negara yang berdasarkan UU tersebut harus
dijamin kelancarannya
- Jaminan
hukum bagi para wajib pajak untuk tidak diperlakukan secara umum
- Jaminan
hukum akan terjaganya kerasahiaan bagi para wajib pajak
Pungutan pajak tidak mengganggu
perekonomian
Pemungutan pajak harus diusahakan sedemikian rupa agar tidak mengganggu kondisi
perekonomian, baik kegiatan produksi, perdagangan, maupun jasa. Pemungutan
pajak jangan sampai merugikan kepentingan masyarakat dan menghambat lajunya
usaha masyarakat pemasok pajak, terutama masyarakat kecil dan menengah.
Pemungutan pajak harus efesien
Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka pemungutan pajak harus
diperhitungkan. Jangan
sampai pajak yang diterima lebih rendah daripada biaya pengurusan pajak
tersebut. Oleh karena itu, sistem pemungutan pajak harus sederhana dan mudah
untuk dilaksanakan. Dengan demikian, wajib pajak tidak akan mengalami kesulitan
dalam pembayaran pajak baik dari segi penghitungan maupun dari segi waktu.
Sistem pemungutan pajak harus sederhana
Bagaimana pajak dipungut akan sangat menentukan keberhasilan dalam pungutan
pajak. Sistem yang sederhana akan memudahkan wajib pajak dalam menghitung beban
pajak yang harus dibiayai sehingga akan memberikan dapat positif bagi para
wajib pajak untuk meningkatkan kesadaran dalam pembayaran pajak. Sebaliknya,
jika sistem pemungutan pajak rumit, orang akan semakin enggan membayar pajak.
Contoh:
- Bea
materai disederhanakan dari 167 macam tarif menjadi 2 macam tariff
- Tarif
PPN yang beragam disederhanakan menjadi hanya satu tarif, yaitu 10%
- Pajak
perseorangan untuk badan dan pajak pendapatan untuk perseorangan
disederhanakan menjadi pajak penghasilan (PPh) yang berlaku bagi badan
maupun perseorangan (pribadi)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment