Monday, April 15, 2013
I. Dasar Teori Pemungutan Pajak
1.
Teori Asuransi
Teori
asuransi diartikan dengan suatu kepentingan masyarakat (seseorang) yang harus
dilindungi oleh negara. Masyarakat seakan mempertanggungkan keselamatan dan
keamanan jiwanya kepada negara.
2.
Teori Kepentingan
Teori
kepentingan diartikan sebagai Negara yang melindungi kepentingan harta benda
dan jiwa warga negara dengan memperhatikan pembagian beban pajak yang harus
dipungut dari seluruh penduduknya. Segala biaya atau pengeluaran yang akan
dikeluarkan oleh negara dibebankan kepada seluruh warga berdasarkan kepentingan
dari warga negara yang ada. Warga negara yang memiliki harta yang banyak,
membayar pajak lebih besar kepada negara untuk melindungi kepentingan dari
warga negara yang bersangkutan.
3.
Tori Gaya Pikul
Dasar
teori ini adalah asas keadilan, yaitu setiap orang yang dikenakan pajak harus
sama beratnya. Pajak yang harus dibayar adalah menurut gaya pikul seseorang
yang ukurannya adalah besarnya penghasilan dan besarnya pengeluaran.
4.
Teori Gaya Beli
Teori
ini menunjukan bahwa pembayaran pajak yang dilakukan kepada negara dimaksudkan
untuk memelihara masyarakat dalam negara yang bersangkutan. Gaya beli suatu
rumah tangga dalam masyarakat adalah sama dengan gaya beli suatu rumah tangga
negara.
5.
Teori Bakti
Teori
ini menekankan pada paham organische staatsleer yang mengajarkan bahwa karena
sifat negara sebagai suatu organisasi (perkumpulan) dari individu-individu,
maka timbul hak mutlak negara untuk memungut pajak.
|
||||||
II. Yurisdiksi Pengenaan Pajak
Dasar hukum
pengenaan pajak di Indonesia adalah Pasal 23 ayat (2) Undang-undang Dasar Tahun
1945, yang berbunyi, “Segala pajak untuk kegunaan kas negara berdasarkan
undang-undang.” Setelah amandemen UUD 1945, ketentuan tentang pajak ada di
Pasal 23A, yang berbunyi "Pajak dan pungutan lain yang bersifat
memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang."
Ketentuan ini sesuai dengan suatu dalil yang berkembang di Inggris yaitu No
Taxation without representation. Semua jenis pungutan yang membebani rakyat
harus didasarkan pada undang-undang. Khusus untuk Pajak Penghasilan, yang
berlaku saat ini, Indonesia memiliki Undang-undang Nomor 7 tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor
17 Tahun 2000 (selanjutnya disebut UU PPh 1984).
Berdasarkan
Pasal 2 UU PPh 1984, Indonesia membangun yurisdiksi pemajakan berdasarkan dua
kaitan fiskal (fiscal allegiance) yaitu: subjektif dan objektif. Pasal 2 ayat
(3) huruf a UU PPh 1984 yang mengatur subjek pajak dalam negeri, berbunyi,
“Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang
berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam satu tahun
pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di
Indonesia.” Menurut ketentuan ini, orang pribadi dapat disebut Wajib Pajak
dalam negeri jika memenuhi salah satu syarat berikut: tempat tinggal atau
domisili, keberadaan, atau niat bertempat tinggal di Indonesia. Ketiga syarat
ini merupakan cara pengujian, dimanakah seseorang berdomisili.
Negara-negara
mempunyai hak untuk memungut atas seluruh penghasilan wajib Pajak berdasarkan
tempat tinggal Wajib Pajak. Wajib Pajak yang bertempat tinggal di Indonesia
dikenai pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh, yang berasal dari
Indonesia atau berasal dari luar negeri (Pasal 4 Undang-undang Pajak
Penghasilan
Sedangkan
untuk subjek pajak badan, ketentuan tentang domisili diatur dalam Pasal 2 ayat
(3) huruf b UU PPh 1984. Suatu badan dapat disebut Wajib Pajak dalam negeri
jika memenuhi syarat sebagai berikut: badan tersebut didirikan di Indonesia,
atau bertempat kedudukan di Indonesia.
Kepastian
domisili ini sangat penting karena berkaitan dengan hak pemajakan berdasarkan
asas domisili. Asas domisili yaitu
asas mengenai pengenaan pajak yang menentukan bahwa negara tempat Wajib Pajak
bertempat tinggal atau berkedudukan lebih berhak mengenakan pajak atas
hasil-hasil yang diperoleh Wajib Pajak dalam negeri yang berasal dari sumber di
mana saja sumber itu ada, baik sumber itu berada di dalam negeri maupun di luar
negeri.
Selain asas domilisi,
terdapat satu asas lagi yang berlaku dalam UU PPh 1984 dan diterima secara
global, yaitu asal sumber. Yurisdiksi sumber Indonesia mendasarkan kepada dua
unsur, yaitu: menjalankan suatu aktivitas ekonomi secara signifikan, dan
menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari negara tersebut.
Menurut asas sumber,
negara tempat sumber itu terletak, lebih berhak mengenakan pajak atas hasil
yang keluar dari sumber itu, tak pandang dimana orang yang memiliki sumber itu
berada (di luar negeri yang mengenakan pajak). Siapapun, orang pribadi atau
badan, yang menerima atau memperoleh penghasilan, baik penghasilan dari usaha
(active income) atau penghasilan dari modal (passive income), dari Indonesia
dapat dikenakan Pajak Penghasilan. Dasar hukum asas ini adalah Pasal 2 ayat (4)
UU PPh 1984.
Asas Kebangsaan.
Pengenaan pajak dihubungkan dengan suatu negara. Asas ini diberlakukan kepada
setiap orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia untuk membayar pajak.
|
||||||||
III. Stelsel Pemungutan Pajak
Pemungutan pajak dapat dilakukan
berdasarkan 3 stelsel :
A. Stelsel nyata (real stelses)
Pengenaan
pajak yang didasari pada objek (penghasilan yang nyata), sehingga pemungutannya
baru dapat dilakukan pada setiap akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan
yang sesungguhnya diketahui. Stelsel nyata mempunyai kelebihan atau kebaikan
dan kekurangan. Kebaikan stelsel ini adalah pajak yang dikenakan lebih
realistis. Sedangkan kelemahannya adalah pajak baru dapat dikenakan pada akhir
periode (seteleh penghasilan diketahui).
B. Stelsel anggapan (fictieve stelses)
B. Stelsel anggapan (fictieve stelses)
Penenaan
pajak didasari pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang. Misalnya,
penghasilan satu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya, sehingga pada
awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan besarnya pajak karena pada stelsel ini
penghasilan pada tahun berikut sama dengan tahun sebelumnya otomatis tidak usah
nunggu sampe akhir tahun pajak berikutnya donk. Kebaikan stelsel ini adalah
pajak dapat dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu akhir tahun,
sedangkan kelemahannya adalah pajak yang dibayarkan tidak berdasarkan pada keadaan
sebenarnya atau sesungguhnya
C. Stelsel Campuran
Stelsel
ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan. Pada awal
tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan sautu anggapan, kemudian pada akhir
tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Bila besarnya
menurut kenyataan lebih besar pada pajak menurut anggapan, maka Wajib Pajak
harus menambah. Sebaliknya jika lebih kecil kelebihannya dapat diminta kembali.
|
|||||
IV.
Penggolongan Pajak
Dalam
berbagai literatur llmu Keuangan Negara dan Pengantar llmu Hukum Pajak terdapat
pembedaan atau penggolongan pajak (classes of taxes, kind of taxes) serta
jenis-jenis pajak. Pembedaan atau penggolongan tersebut didasarkan pada suatu
kriteria, seperti siapa yang membayar pajak; siapa yang pada akhirnya memikul
beban pajak; apakah beban pajak dapat dilimpahkan/dialihkan kepada pihak lain
atau tidak; siapa yang memungut; serta sifat-sifat yang melekat pada pajak yang
bersangkutan.
Penggolongan
pajak diatur menurut sifat dan sistem pemungutannya, dan
penggolongan-penggolongan tersebut semuanya dilakukan berdasarkan wajib pajak.
Aturan mengenai perpajakan di Indonesia tercantum dalam Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2007.
Pengertian
pajak sendiri adalah sistem iuran yang diwajibkan kepadamasyarakat suatu negara
dan sudah diatur dalam undang-undang. Pemungutan pajak yang dilakukan oleh
pihak pemerintah terkait bertujuan untuk membangun infrastruktur sebuah negara.
Seperti,Rumah Sakit Umum Daerah, Jalan Raya, dan fasilitas umum lainnya yang
berguna untuk masyarakat.
Pada
umumnya pajak digolongkan atas beberapa bagian seperti Pajak Langsung dan Pajak
Tidak Langsung, penggolongan pajak pusat dan pajak daerah, menurut golongan
pajak, pajak subjektif dan objektif serta menurut pajak pribadi atau menurut
pajak kebendaan. OECD juga membuat penggolongan tersendiri atas kriteria
tertentu.
A.
Menurut Sifatnya:
1.
Pajak langsung, pajak yang dikenakan pada wajib pajak dan tidak dapat
dibebankan atau dilimpahkan pada orang lain. Dalam arti ekonomis ialah pajak
yang beban pembayarannya harus dipikul sendiri oleh wajib pajak bersangkutan
dan tidak boleh dilimpahkan kepada orang lain. Pajak angsung dalam arti
administratif ialah pajak yang dipungut secara erkala. Contoh: pajak
penghasilan (Pph)
2.
Pajak tidak langsung, pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau ilimpahkan
kepada orang lain. Dalam pengertian ekonomis adalah ajak yang beban
pembayarannya dapat dilimpahkan kepada orang lain, ang menanggung beban pajak
pada akhirnya adalah konsumen. Dalam engertian administratif adalah pajak uang
dipungut setiap terjadi eristiwa yang menyebabkan terhutangnya pajak. Misal
saat penyerahanpenjualan dari produsen pada konsumen, saat pembuatan akta,
suratpersetujuan (sewa menyewa, jual beli, pinjam meminjam), pajak pertambahan
nilai (Ppn), pajak bea materai (pajak atas dokumen), bea balik nama, pajak
tontonan dan sebagainya.
B.
Menurut Obyek
1.
Pajak Subjektif (pajak perseorangan); ialah pajak yang berpangkal atau
berdasarkan pada subyeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak.
Dalam pemungutannya pertama-tama memperhatikan keadaan pribadi pembayarnya
(subyeknya). Status pembayar pajak akan mempengaruhi besar kecilnya pajak yang
akan dibayarkan. Misal status bujangan atau perawan, status kawin, jumlah
tanggungan keluarga dalam pajak penghasilan untuk wajib pajak orang pribadi,
2.
Pajak objektif. (pajak kebendaan); yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya,
tanpa memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Dalam pemungutannya pertama-tama
melihat obyeknya baik berupa benda, keadaan perbuatan dan peristiwa yang
menyebabkan kewajiban membayar pajak. Besar kecilnya pajak tidak dipengaruhi
oleh keadaan subyeknya, setelah ketemu obyeknya baru dicari subyeknya (orang
atau badan yang bersangkutan), contoh: PPN, PKB dan PBB.
C.
Menurut lembaganya pemungutannya:
1. Pajak Pusat (Pajak Negara);
adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat yang penyelenggaraannya
dilaksanakan oleh departemen keuangan dan hasilnya digunakan untuk pembiayaan
rumah tangga negara pada umumnya. Contoh: Pajak penghasilan, Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea
Materai. Pajak yang dipungut pemerintah pusat, adalah oleh Dirjen Pajak, yakni:
PPh:
Pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan
pada tingkat keberhasilan tertentu
PPN
(Pajak Pertambahan Nilai Barang dan jasa) dan Ph.Bm. (pajak penjualan atas
barang mewah). Keduanya merupakan satu kesatuan sebagai pajak yang dipungut
atas konsumsi dalam negeri oleh karena itu terhadap penyerahan atau import
barang mewah selain dikenakan pajak pertambahan nilai juga dikenakan pajak
penjualan atas barang mewah
PBB
adalah pajak atas harta tidak bergerak yang terdiri dari tanah dan bangunan
(property tax)
Bea
Materai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen
Bea
Lelang adalah pajak yang dikenakan atas barang yang penjualannya dengan cara
penjualan lelang.
Dirjen
Bea Cukai, yaitu:
Bea
Masuk: bea atas barang masuk ke dalam kawasan pabean
Pajak
Eksport (bea keluar)
Pajak
Pertambahan Nilai (import): khusus untuk barang yang dibeli dari luar negeri
Dirjen
Moneter, yaitu:
Pajak
atas minyak bumi sbg penghasilan produk
Pajak
daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemda berdasarkan perda masing-masing
dan hasilnya digunakan untuk pembiayaan rumah tanggadaerah masing-masing
2. Pajak Daerah,
terdiri atas: Pajak Propinsi, Pajak Kenderaan Bermotor dan Kenderaan di atas
Air, Pajak Bahan Bakar Kenderaan Bermotor, Pajak Kabupaten/Kota, Pajak Hotel,
Pajak Restoran, Pajak hiburan, ajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan. Pajak yang
dipungut pemerintah daerah, adalah oleh:
Pemda
Propinsi, yakni:
PKB
Pajak
Bea Balik Nama KB
Pajak
bea balik nama tanah (pulasi)
pajak
ijin menangkap ikan di wilayahnya
Pemda
Kabupate/Kota, yaitu:
pajak
pertunjukan dan keramaian umum
pajak
reklame
Pajak
anjing
Pajak
kendaraan tidak bermotor
Pajak
pembangunan
Pajak
radio
Pajak
jalan
Pajak
bangsa asing
Pajak
potong hewan dll
Pemungutan
lain bagi daerah, antara lain: bea jalan/jembatan, bea pangkalan, bea penambangan,
bea sepadan/izin bangunan, bea penguburan, bea atas pengujian kendaraan
bermotor, retribusi jembatan timbang, retribusi bus, taksi dll, retribusi
tempat rekreasi, retribusi pasar, retribusi pesanggrahan, retribusi pelelangan
ikan. Sedangkan Pajak yang dipungut atas barang tentang bea cukai daerah adalah
bea rokok dan bea beras.
Pada dasarnya terdapat 3
( tiga ) cara / system yang dipergunakan untuk menentukan siapa yang menghitung
dan menetapkan jumlah pajak yang terutang oleh
seseorang, yaitu :
1. Official Assesment
System
Official Assesment
System yaitu system pemungutan pajak yang menyatakan bahwa jumlah pajak
yang terutang oleh wajib pajak dihitung dan ditetapkan oleh aparat pajak atau
fiskus. Dalam system ini utang pajak timbul bila telah ada ketetapan pajak dari
fiskus ( sesuai dengan ajaran formil tentang timbulnya utang pajak ). Jadi dalam
hal ini wajib pajak bersifat pasif.
Sistem diterapkan dalam
hal pelunasan Pajak Bumi Bangunan (PBB), dimana KPP akan mengeluarkan surat
ketetapan pajak mengenai besarnya PBB yang terutang setiap tahun. Jad waji
pajak tidak perlu menghitung sendiri, tapi cukup membayar PBB berdasarkan Surat
Pembayaran Pajak Terutang (SPPT) yang dikeluarkan olek KPP dimana tempat objek
pajak tersebut terdaftar.
2. Self Assesment System
Self Assesment
System yaitu system pemungutan pajak dimana wewenang menghitung besarnya
pajak yang terutang oleh wajib pajak diserahkan oleh fiskus kepada wajib pajak
yang bersangkutan, sehingga dengan sisten ini wajib pajak harus aktif untuk
menghitung, menyetor dan melaporkan kepada Kantor Pelayanan Pajak ( KPP ),
sedangkan fiskus bertugas memberikan penerangan dan pengawasan.
Sistem ini diterapkan
dalam penyampaian SPT Tahunan PPh (baik untuk Wajib Pajak Badan mauoun Wajib
Pajak Orang Pribadi), dan SPT Masa PPN
3. With Holding System
With Holding
System yaitu system pemungutan pajak yang menyatakan bahwa jumlah pajak
yang terutang dihitung oleh pihak ketiga ( yang bukan wajib pajak dan juga
bukan aparat pajak / fiskus ).
DIterapkan dalam
mekanisme pemotongan atau pemungutan sesuai PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh
Pasal 23, PPh Pasal 26, PPh Final Pasal 4 Ayat 2, PPh Pasal 15, dan PPN.
Sebagai bukti atas pelunasan pajak ini biasanya berupa bukti potong atau bukti
pungut. Dalam kasus tertentu ada juga yang berupa Surat Setoran Pajak (SSP).
Bukti-bukti pemotongan ini nanti dilampiri dalam SPT Tahunan PPh atau SPT Masa
PPN dari Wajib Pajak yang bersangkutan.
|
|||||
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment