Monday, September 30, 2013

Pajak Penghasilan

A.  PAJAK PENGHASILAN PASAL 21
Pengertian
Pajak  Penghasilan  Pasal  21  adalah  pajak  atas  penghasilan  berupa  gaji,  upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun  sehubungan  dengan  pekerjaan  atau  jabatan,  jasa,  dan  kegiatan  yang dilakukan oleh Orang Pribadi.
Dasar Hukum
1.      Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No. 28 Tahun 2007.
2.      Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008.
3.      Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 541/KMK.04/2000 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 184/PMK.03/2007 tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyeroran Pajak, Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, dan Tata Cara Pembayaran, Penyetoran dan Pelaporan Pajak, serta Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak.
4.      Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-254/PMK.03/2008 tentang Penetapan Bagian Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan dari Pegawai Harian dan Mingguan serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan.
5.      Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-57/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21/26.
6.      Keputusan Menteri Keuangan RI no. 162/PMK.011/Thn 2012 mengenai penyesuaian besarnya PTKP atau Penghasilan Tidak Kena Pajak
Pemotong Pph Pasal 21
1.      Pemberi Kerja, yang terdiri dari Orang Pribadi dan Badan;
2.      Bendaharawan atau Pemegang Kas Pemerintah baik Pusat maupun Daerah;
3.      Dana  Pensiun,  Badan  Penyelenggara  Jaminan  Sosial  Tenaga  Kerja,  dan Badan-Badan Lain  yang  Membayar  Uang  Pensiun  dan  Tunjangan  Hari  Tua atau Jaminan Hari Tua;
4.      Orang  Pribadi  yang  Melakukan  Kegiatan  Usaha  atau  Pekerjaan  Bebas  serta Badan yang Membayar :
a. honorarium  atau  pembayaran  lain  sebagai  imbalan  sehubungan  dengan jasa dan/atau kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek  Pajak  dalam  negeri, 
b. honorarium  atau  pembayaran  lain  sebagai  imbalan  sehubungan  dengan kegiatan dan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak luar negeri;
c. honorarium atau imbalan lain kepada  peserta pendidikan,  pelatihan, dan magang;
5.  Penyelenggara   Kegiatan,   termasuk   Badan   Pemerintah,   Organisasi   yang bersifat   Nasional   dan   Internasional,   Perkumpulan,   Orang   Pribadi   serta Lembaga   Lainnya   yang   Menyelenggarakan   Kegiatan,   yang   Membayar Honorarium, Hadiah, atau Penghargaan dalam Bentuk Apapun kepada Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri Berkenaan dengan Suatu Kegiatan.
Subjek Pph Pasal 21
a.       Pegawai;
b.      Penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya;
c.       Bukan  pegawai  yang  menerima  atau  memperoleh  penghasilan  sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan, antara lain meliputi :
1.      Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
2.      Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang    iklan,    sutradara,    kru    film, foto     model,peragawan/peragawati,pemain  drama,  penari,  pemahat,  pelukis,  dan seniman lainnya;
3.      olahragawan
4.      penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
5.      pengarang, peneliti, dan penerjemah;
6.      pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik komputer dan sistem aplikasinya,  telekomunikasi,  elektronika,  fotografi,  ekonomi,  dan  sosial serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan;
7.      agen iklan;
8.      pengawas atau pengelola proyek;
9.      pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara;
10.  petugas penjaja barang dagangan;
11.  petugas dinas luar asuransi;
12.  distributor  perusahaan  multilevel  marketing  atau  direct  selling  dan kegiatan sejenis;

Objek Pph Pasal 21
a.  penghasilan  yang  diterima  atau  diperoleh  Pegawai  tetap,  baik  berupa penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur;
b. penghasilan  yang  diterima  atau  diperoleh  Penerima  pensiun  secara  teratur berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya;
c. penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan sehubungan  dengan  pensiun  yang  diterima  secara  sekaligus  berupa  uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua, dan pembayaran lain sejenis
d. penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah  mingguan,  upah  satuan,  upah  borongan  atau  upah  yang  dibayarkan secara bulanan;
e.  imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan  imbalan  sejenisnya  dengan  nama  dan  dalam  bentuk  apapun  sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan;
f.  imbalan  kepada  peserta  kegiatan,  antara  lain  berupa  uang  saku,  uang representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama          dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis dengan nama apapun.
g. penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh:
-   bukan Wajib pajak;
-   Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau
-   Wajib   Pajak   yang   dikenakan   Pajak   Penghasilan   berdasarkan   norma penghitungan khusus (deemed profit).
f.  Pengenaan PPh Pasal  21 bagi pejabat negara, pegawai negeri sipil, anggota Tentara  Nasional  Indonesia,  anggota  Kepolisian  Negara  Republik Indonesia, serta  para  pensiunannya  atas  penghasilan  yang  menjadi  beban  Anggaran Pendapatan  dan  Belanja  Negara  atau  Anggaran  Pendapatan  dan  Belanja Daerah, diatur berdasarkan ketentuan yang ditetapkan khusus mengenai hal dimaksud.
Penghasilan yang Dikecualikan dari Pengenaan Pph Pasal 21
1.      Pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi
2.      Penerimaan dalam bentuk natura atau kenikmatan dalam bentuk apapun diberikan oleh Wajib Pajak atau Pemerintah yang diberikan Wajib Pajak yang dikenakan Pph bersifat final
3.      Iuran pensiun dan THT yang diberikan oleh pemberi kerja
4.      Zakat
5.      Beasiswa
Pengurangan Penghasilan yang Diperbolehkan
1.      Biaya jabatan
Besarnya biaya jabatan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto untuk penghitungan pemotongan Pph bagi pegawai tetap, ditetapkan sebesar 5% dari penghasilan bruto maksimal Rp 6.000.000,-/tahun atau Rp 500.000,-/bulan
2.      Biaya Pensiun
Besarnya biaya pensiun yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto untuk penghitungan pemotongan Pph bagi pensiunan ditetapkan sebesar 5% dari penghasilan bruto maksimal Rp 2.400.000,-/tahun atau Rp 200.000,-/bulan
3.      Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
Sesuai dengan keputusan Menteri Keuangan RI no. 162/PMK.011/Thn 2012 mengenai penyesuaian besarnya PTKP atau Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagai berikut :



Keterangan
Setahun
Sebulan
Untuk diri Wajib Pajak
Rp 24.300.000,-
Rp 2.025.000,-
Tambahan untuk WP yang kawin
Rp 2.025.000,-
Rp 168.750,-
Tambahan untuk Penghasilan Istri digabung dengan penghasilan suami
Rp 24.300.000,-
Rp 2.025.000,-
Tambahan untuk anggota keluarga yang menjadi tanggungan (maks. 3 orang)
Rp 2.025.000,-
Rp 168.750,-

Tarif Pph Pasal 21
1.      Tarif  Pasal 17 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana terakhir diubah dengan undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 dengan ketentuan sebagai berikut :

LAPISAN PENGHASILAN

TARIF
s/d Rp 50.000.000,00

5%
>Rp 50.000.000,00 s/d Rp 250.000.000,00

15%
>Rp 250.000.000,00 s/d Rp 500.000.000,00

25%
>Rp 500.000.000,00

30%


2.      Tarif khusus
a.       Tarif khusus diterapkan atas penghasilan yang bersumber dari APBN yang diterima oleh pejabat PNS, anggota TNI/Polri, dan Pensiunan
1.      Tarif  0% dari jumlah bruto honorarium/imbalan bagi PNS Golongan I dan II, Anggota TNI/Polri golongan pangkat perwira Tamtama, Bintara dan Pensiunannya
2.      Tarif 5% dari jumlah bruto honorarium/imbalan bagi PNS golongan III, anggota TNI/Polri pangkat perwira pertama dan pensiunannya
3.      Tarif 15% dari jumlah bruto honorarium atau imbalan bagi PNS Golongan IV, anggota TNI/Polri pangkat perwira menengah dan tinggi dan pensiunannya
b.      Tarif khusus diterapkan atas penghasilan berapa uang pensiunan yang diterima sekaligus.


Penghasilan Bruto

Tarif
s/d Rp 50.000.000,00

0%
> Rp 50.000.000,00 s/d Rp 100.000.000,00

5%
> Rp 100.000.000,00 s/d Rp 500.000.000,00

15%
>Rp 500.000.000,00

25%

c.       Tarifkhusus atas penghasilan berupa uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua

Penghasilan Bruto

Tarif
s/d Rp 50.000.000,00

0%
> Rp 50.000.000,00

5%

d.      Tarif khusus 5% atas upah harian, borongan satuan yang diterima oleh tenaga kerja harian lepas yang mempunyai total upah sebulan kurang dari Rp 1.320.000,- atau upah sehari kurang dari Rp 150.000,-
Perhitungan  Pph 21
Penghitungan Pph Pasal 21 pegawai tetap
Pph Pasal 21 = tariff Pasal 17 x PKP
Penghasilan Bruto
1.      Gaji Sebulan                                                          xxx
2.      Tunjangan Pph                                                      xxx
3.      Tunjangan & Honorarium lainnya             xxx
4.      Premi asuransi yang dibayar pemberi kerja           xxx
5.      Jumlah Penghasilan Bruto                                                             xxx
Pengurangan
6.      Biaya jabatan                                                        xxx
7.      Iuran Pensiun                                                        xxx
8.      Jumlah Pengurangan                                                                     (xxx)
Penghitungan Pph Pasal 21
9.      Penghasilan Netto sebulan
10.  Penghasilan Netto setahun ( 10 x 12 Bulan )                                xxx
11.  Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)                            (xxx)
12.  Penghasilan Kena Pajak (PKP) setahun                                        xxx     
13.  Pph Pasal 21 yang terutang (12 x Tarif Pasal 17)                         xxx
14.  Ppp Pasal 21 yang dipotong sebulan (13 :12 bulan )                    xxx

Penghitungan Pph Pasal 21 bagi bukan Pegawai yang memperoleh imbalan berkesinambungan yang tidak memiliki NPWP
            Pph Pasal 21 sebulan = tarif Pasal 17 x 50% x Jumlah Komulatif Penghasilan Bruto

Penghitungan Pph Pasal 21 bukan pegawai yang memperoleh imbalan berkesinambungan yang memiliki NPWP
            Pph Pasal 21 sebulan =tarif Pasal 17 x Jumlah Komulatif PKP

Penghitungan Pph Pasal 21 bukan pegawai yang menerima imbalan yang tidak bersifat berkesinambungan
Pph Pasal 21= tarif Pasal 17 x 50% x Penghasilan Bruto

Penghitungan Pph 21 bagi Penerima penghasilan sebagai peserta kegiatan
            Pph Pasal 21 = tariff Pasal 17 x Penghasilan Bruto

Contoh
Budi Karyanto pegawai pada perusahaan PT Candra Kirana, menikah tanpa anak, memperoleh gaji sebulan Rp3.000.000,00. PT Candra Kirana mengikuti program Jamsostek, premi Jaminan Kecelakaan Kerja dan premi Jaminan Kematian dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah masing-masing 0,50% dan 0,30% dari gaji. PT Candra Kirana menanggung iuran Jaminan Hari Tua setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji sedangkan Budi Karyanto membayar iuran Jaminan Hari Tua sebesar 2,00% dari gaji setiap bulan. Disamping itu PT Candra Kirana juga mengikuti program pensiun untuk pegawainya. PT Candra Kirana membayar iuran pensiun untuk Budi Karyanto ke dana pensiun, yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, setiap bulan sebesar Rp100.000,00, sedangkan Budi Karyanto membayar iuran pensiun sebesar Rp50.000,00. Pada bulan Juli 2013 Budi Karyanto hanya menerima pembayaran berupa gaji.  Penghitungan PPh Pasal 21 bulan Juli 2013 adalah sebagai berikut:

Gaji

3.000.000,00
Premi Jaminan Kecelakaan Kerja    

15.000,00
Premi Jaminan Kematian

9.000,00
Penghasilan bruto

3.024.000,00
Pengurangan


1. Biaya jabatan


5%x3.024.000,00
151.200,00

2. Iuran Pensiun
50.000,00

3. Iuran Jaminan Hari Tua
60.000,00



261.200,00
Penghasilan neto sebulan

2.762.800,00
Penghasilan neto setahun


12x2.762.800,00

33.153.600,00
PTKP


- untuk WP sendiri
24.300.000,00

- tambahan WP kawin
2.025.000,00



26.325.000,00
Penghasilan Kena Pajak setahun

6.828.600,00
Pembulatan

6.828.000,00
PPh terutang


5%x6.828.000,00
341.400,00

PPh Pasal 21 bulan Juli


341.400,00 : 12

28.452,00
Catatan:
·         Biaya Jabatan adalah biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang dapat dikurangkan dari penghasilan setiap orang yang bekerja sebagai pegawai tetap tanpa memandang mempunyai jabatan ataupun tidak.
·         Contoh di atas berlaku apabila pegawai yang bersangkutan sudah memiliki NPWP. Dalam hal pegawai yang bersangkutan belum memiliki NPWP, maka jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada bulan Juli adalah sebesar: 120% x Rp28.452,00=Rp 34.140,00
Mekanisme Pemungutan Pph Pasal 21
Kewajiban Pemotong Pajak dalam menghitung, memotong, menyetor dan melaporkan Pph 21 adalah sebagai berikut:
a.       Pemotong pajak setelah memotong wajib pajak wajib menyetorkan pajak tersebut ke Bank Persepsi, Kas Negara, atau Kantor Pos menggunakan surat SSP (Surat Setoran Pajak) selambat-lambatnya pada tanggal 10 bulan takwin berikutnya.
b.      Pemotong pajak wajib melaporkan penyetoran tersebut ke Kantor Pelayanan Pajak tempat wajib pajak terdaftar menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) Massa selambat-lambatnya pada tanggal 20 bulan takwim berikutnya.
c.       Pemotong pajak (Bendaharawan) wajib memberikan bukti pemotongan Pph Pasal 21baik diminta maupun tidak pada saat dilakukan pemotongan pajak kepada orang pribadi sebagai pegawai tetap ataupun bukan pegawai tetap, penerima pensiunan, penerima THT, penerima pesangon, dan penerima dana pensiun, iuran pasti.
d.      Pemotong pajak setelah tahun takwim berakhir berkewajiban melaporkan seluruh penghasilan bruto dan Pph yang terutang/dibayar dalam SPT Massa Pph Pasal 21 bulan Desember tahun bersangkutan.

B.  PAJAK PENGHASILAN PASAL 22
Pengertian
Pajak Penghasilan Pasal 22 adalah Pajak yang dipungut oleh bendaharawan pemerintah baik Pemerintah Pusat maupun pemerintah daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga lain, berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang, dan badan-badan tertentu baik badan pemerintah maupu swasta berkenaan dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.
Pajak penghasilan Pasal 22 dibayar dalam tahun berjalan melalui pemotongan atau pemungutan oleh pihak-pihak tertentu. Pph Pasal 22 ada yang bersifat final dan tidak final.
Dasar Hukum Pph Pasal 22
1.      Undang-undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pph
2.      Undang-undang No. 36 Tahun 2008
3.      Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 154/PMK.03/2010.  PMK ini efektif berlaku mulai 31 Agustus 2010 dan merupakan peraturan Menteri Keuangan terbaru mengenai PPh Pasal 22 pada era berlakunya UU PPh Nomor 36 Tahun 2008.  Pada masa sebelumnya, peraturan mengenai PPh Pasal 22 adalah Keputusan Menteri Keuangan Nomor 254/KMK.03/2001 yang telah beberapa kali diubah terakhir dengan PMK Nomor 210/PMK.03/2008.
Pemungut Pajak
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Menteri No. 154/PMK.03/2010, Pemungut Pasal 22 adalah
1.      Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas Impor barang
2.      Bendahara Pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA)
3.      Bendahara Pengeluaran
4.      Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industry semen, industry kertas, industry baja, dan industry otomotif yang ditunjuk oleh kepala kantor pelayanan pajak
5.      Produsen atau importir bahan bakar minyak, gas dan pelumas atas penjualan bahan bakar minyak, gas dan pelumas
6.      Industry dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan yang telah ditunjuk oleh kepala kantor pelayanan pajak
Subjek Pajak Pasal 22
1.      Importir sehubungan dengan kegiatan impor
2.      Rekanan Pemerintah sehubungan dengan APBN atau Non APBN
3.      Konsumen sehubungan badan tertentu
Objek Pajak Pasal 22
Berbeda dengan objek PPh pada umumnya yang berupa penghasilan (income), sebagian besar objek pemungutan atau pengenaan PPh Pasal 22 justru berupa biaya atau pengeluaran (expenditure).  Jika dilihat dari sisi subjek yang dipungut, hanya ada beberapa objek PPh Pasal 22 yang berupa penghasilan (income).
Seperti yang ditetapkan dalam PMK Nomor 154/PMK.03/2010, jenis dan objek pemungutan PPh Pasal 22 serta siapa subjek yang harus melakukan pemungutan adalah sebagai berikut:
1.      PPh Pasal 22 Impor. Dalam hal ini, kegiatan yang dikenakan (objek pemungutan) PPh Pasal 22 adalah kegiatan impor barang.  Subjek yang ditunjuk untuk menjadi pemungut (collector) adalah Bank Devisa serta Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Sedangkan subjek yang dipungut (yang dikenakan PPh Pasal 22) adalah importir yang melakukan impor tersebut.
2.      PPh Pasal 22 Bendahara Pemerintah. Transaksi yang menjadi objek PPh Pasal 22 adalah pembayaran yang dilakukan oleh Bendaharawan Pemerintah kepada vendor atau rekanan pemerintah.  Subjek pemungut PPh Pasal 22-nya adalah Bendahara Pemerintah, baik di tingkat pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.  Sementara subjek yang dikenakan pemungutan PPh Pasal 22 adalah vendor atau rekanan pemerintah.
3.      PPh Pasal 22 Semen. Objek pemungutan PPh Pasal 22 di sini adalah penjualan semen di dalam negeri yang dilakukan oleh badan usaha industri semen.  Subjek pemungutnya adalah badan usaha yang memproduksi semen tersebut yang telah ditunjuk oleh KPP setempat sementara subjek yang terpungut (dikenakan PPh Pasal 22) adalah pihak pembeli semen.
4.      PPh Pasal 22 Kertas. Objek pemungutan PPh Pasal 22 di sini adalah penjualan kertas di dalam negeri.  Subjek pemungutnya adalah badan usaha yang memproduksi kertas tersebut yang ditunjuk oleh KPP setempat sementara subjek yang terpungut (dikenakan PPh Pasal 22) adalah pihak pembeli kertas.
5.      PPh Pasal 22 Baja. Objek pemungutan PPh Pasal 22 di sini adalah penjualan baja di dalam negeri.  Subjek pemungutnya adalah badan usaha yang memproduksi baja tersebut yang ditunjuk oleh KPP setempat sementara subjek yang terpungut (dikenakan PPh Pasal 22) adalah pihak pembeli baja.
6.      PPh Pasal 22 Otomotif. Objek pemungutan PPh Pasal 22 di sini adalah penjualan otomotif di dalam negeri.  Subjek pemungutnya adalah badan usaha yang memproduksi otomotif tersebut yang ditunjuk oleh KPP setempat sementara subjek yang terpungut (dikenakan PPh Pasal 22) adalah pihak pembeli otomotif.
7.      PPh Pasal 22 Bahan Bakar Minyak. Dalam hal ini yang menjadi objek pemungutan PPh Pasal 22 adalah penjualan bahan bakar minyak, gas dan pelumas. Subjek pemungutnya adalah produsen ataupun importir yang menjual bahan bakar minyak, gas dan pelumas.  Sedangkan subjek yang dikenakan adalah konsumen yang membeli langsung bahan bakar minyak, gas dan pelumas dari produsen maupun importir tersebut.
8.      PPh Pasal 22 Pedagang Pengumpul. Di sini yang menjadi objek pemungutan PPh Pasal 22 adalah penjualan bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari pedagang pengumpul kepada industri maupun eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, pertanian, perkebunan dan perikanan.  Subjek pemungutnya adalah industri dan eksportir yang melakukan pembelian yang ditunjuk oleh KPP setempat.  Sedangkan subjek yang dipungut (dikenakan) PPh Pasal 22 adalah pedagang pengumpul yang melakukan penjualan.
Dari kedelapan objek pemungutan PPh Pasal 22 tersebut, secara garis besar sebenarnya hanya ada tiga kegiatan yang dijadikan objek PPh Pasal 22 yaitu: kegiatan impor, kegiatan penjualan kepada pembeli tertentu, dan kegiatan pembelian produk tertentu dari penjual tertentu. Dan dari ketiga kegiatan itu, hanya satu yang kegiatan masuk kategori income yaitu kegiatan penjualan kepada pembeli tertentu.  Itulah sebabnya banyak praktisi pajak yang mengatakan pengenaan PPh Pasal 22 ini agak bertolak belakang dengan konsep umum PPh karena menjadikan expenditure/expense sebagai objeknya dan bukannya income atau penghasilan.

Pengecualian PPh Pasal 22 Impor
Tidak semua impor dikenakan PPh Pasal 22 sebab seperti ditegaskan dalam Pasal 3 PMK Nomor 154/PMK.03/2010 ada beberapa jenis barang yang atas impornya dikecualikan dari pengenaan PPh Pasal 22 Impor (tidak dikenakan PPh Pasal 22 impor).
Untuk tidak dikenakan PPh Pasal 22 impor, ada yang memerlukan Surat Keterangan Bebas (SKB) dari Kepala KPP tempat importir atau pihak yang akan melakukan impor terdaftar NPWP, atau dari kantor DJBC setempat. Tanpa ada SKB sebagai syarat pembebasan, PPh Pasal 22 Impor tetap dapat dikenakan.
Satu-satunya impor yang dibebaskan dari pengenaan PPh Pasal 22 dan tidak memerlukan SKB adalah impor kembali (re-impor), yaitu barang-barang yang telah diekspor kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian, yang telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh DJBC.




Tarif Pph Pasal 23
Tarif Pemungutan
Uraian Transaksi
Thn  2013
(Mulai : 23/2/2013)
1. Impor selain Kedelai, Gandum & Tepung Terigu yang menggunnakan API
2,5% x Nilai Impor
2. Impor Kedelai, Gandum dan Tepung Terigu, yang menggunakan API
0,5% x Nilai Impor
3. Impor yang tidak menggunakan API
7,5% x Nilai Impor
4. Impor yang tidak dikuasai
7,5% x harga jual lelang
5. Pembelian Barang oleh Bendahara Pemerintah & KPA
1,5% x Harga Pembelian tidak termasuk PPN
  • Kecuali untuk pembayaran maks Rp 2.000.000
  • Kecuali untuk pembayaran atas pembelian BBM, BBG & Pelumas, Benda-benda pos serta  pemakaian air & listrik

6. Pembelian Barang BUMN yg ditunjuk sebagai Pemungut PPh Pasal 22
1,5% x Harga Pembelian tidak termasuk PPN
  • Kecuali untuk pembayaran maks Rp 10.000.000
  • Kecuali untuk pembayaran atas pembelian BBM, BBG & Pelumas, Benda-benda pos serta  pemakaian air & listrik

7. Penjualan Produk BBM oleh Produsen atau Importir BBM, BBG, Pelumas
  • 0,25% x Penjualan (tidak termasuk PPN) è untuk penjualan kpd SPBU Pertamina
  • 0,3% x Penjualan (tidak termasuk PPN) è untuk penjualan kpd SPBU non Pertamina
  • 0,3% x Penjualan (tidak termasuk PPN) è untuk Penjualan kepada non SPBU
(Note : PPh22 u/SPBU bersifat final)

8. Penjualan Produk BBG & Pelumas oleh Produsen atau importir BBM, BBG, Pelumas
0,3% x Penjualan (tidak termasuk PPN)
9. Penjualan Semen oleh Industri Semen kepada Distributor Dalam Negeri
0,25% x DPP PPN
10. Penjualan Kertas oleh Industri Kertas kepada distributor dalam negeri
0,1% x DPP PPN
11.  Penjualan baja oleh Industri baja kepada distributor di dalam negeri
0,3% x DPP PPN
12. Penjualan kendaraan bermotor beroda dua atau lebih oleh Industri Otomotif kepada distributor di dalam negeri
0,45% x DPP PPN
13. Penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri oleh ATPM, APM dan Importir Umum
0,45% x DPP PPN
14. Penjualan semua jenis oleh Industri Farmasi kepada distributor dalam negeri
0,3% x DPP PPN
15. Pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor oleh badan usaha industri atau eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan
0,25% x harga Pembelian tidak termasuk PPN

Kasus Perhitungan
Misalnya dalam suatu kegiatan impor diketahui harga jual (cost) barang impor tersebut dari produsen di luar negeri Rp 10.000.000,- sedangkan insurance dan freight (ongkos angkut yang diminta produsen) masing-masing Rp 5.000.000,- dan Rp 7.000.000,-. Bea Masuk yang dikenakan terhadap barang yang diimpor tersebut 25% dan pungutan lainnya sebesar Rp 1.000.000,-. Dari keterangan ini, maka dapat dihitung DPP PPh Pasal 22 sebagai berikut:

PPh Pasal 22 Impor yang harus dilunasi atau dibayar oleh importir adalah sebesar tarif PPh Pasal 22 impor dikalikan dengan DPP PPh Pasal 22 Impor tersebut.  Dari gambar di atas, berarti besarnya PPh Pasal 22 Impor (asumsi impor menggunakan API) adalah = 2,5% x Rp 28.500.000,- = Rp 712.500,-.
Jika ada kegiatan impor yang dilakukan secara illegal dan kemudian tertangkap oleh pihak berwajib, maka barang impor tersebut akan disita oleh negara.  Selanjutnya barang sitaan impor tersebut akan dilelang dan akan dikenakan PPh Pasal 22 dengan tarif 7,5% dari harga jual lelang.  Dalam hal ini, barang sitaan impor itu disebut dengan “impor yang tidak dikuasai”.  Pihak yang dikenakan PPh Pasal 22 adalah pemenang lelang sehingga pemenang lelang harus membayar sebesar harga jual lelang ditambah PPh Pasal 22 sebesar 7,5% dari harga jual lelang tersebut.

Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 22
1.      PPh Pasal 22 atas impor barang disetor oleh importir dengan menggunakan formulir Surat Setoran Pajak, Cukai dan Pabean (SSPCP). PPh Pasal 22 atas impor barang yang dipungut oleh DJBC harus disetor ke bank devisa, atau bank persepsi, atau bendahara Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dalam jangka waktu 1 (satu) hari setelah pemungutan pajak dan dilaporkan ke KPP secara mingguan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah batas waktu penyetoran pajak berakhir.
2.      PPh Pasal 22 atas impor harus dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk dan dalam hal Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, PPh Pasal 22 atas impor harus dilunasi saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean impor. Dilaporkan ke KPP paling lambat tanggal 20 setelah masa pajak berakhir.
3.      PPh Pasal 22 atas pembelian barang disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP Wajib Pajak rekanan ke bank persepsi atau Kantor Pos pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang. Pemungut menerbitkan buktipungutan rangkap tiga, yaitu :
a.       lembar pertama untuk pembeli;
b.      lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan ke Kantor Pelayanan Pajak;
c.       lembar ketiga untuk arsip Pemungut Pajak yang bersangkutan, dan dilaporkan ke KPP paling lambat 14 (empat belas ) hari setelah masa pajak berakhir.
4.      PPh Pasal 22 atas pembelian barang disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP Wajib Pajak penjual ke bank persepsi atau Kantor Pos paling lama tanggal 10 sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Dilaporkan ke KPP paling lambat tanggal 20 setelah masa pajak berakhir.
5.      PPh Pasal 22 atas pembelian barang disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP Wajib Pajak penjual ke bank persepsi atau Kantor Pos paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim berikutnya dengan menggunakan formulir SSP dan menyampaikan SPT Masa ke KPP paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah masa pajak berakhir.
6.      PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi  dan hasil penjualan barang sangat mewah disetor oleh pemungut atas nama wajib pajak ke bank persepsi atau Kantor Pos paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim berikutnya dengan menggunakan formulir SSP. Pemungut menyampaikan SPT Masa ke KPP paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah masa pajak berakhir.
7.      PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi disetor oleh pemungut ke bank persepsi atau Kantor Pos paling lama tanggal 10(sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
Pemungut wajib menerbitkan bukti pemungutan PPh Ps. 22 rangkap 3 yaitu:
a.       lembar pertama untuk pembeli;
b.      lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan kepada Kantor Pelayanan Pajak;
c.       lembar ketiga untuk arsip Pemungut Pajak yang bersangkutan.
d.      Pelaporan dilakukan dengan cara menyampaikan SPT Masa ke KPP setempat paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.Dalam hal jatuh tempo penyetoran atau batas akhir pelaporan PPh Pasal 22 bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, penyetoran atau pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.

C.  PAJAK PENGHASILAN PASAL 23
Pengertian
Pajak penghasilan Pasal 23 adalah pajak yang dipotong atas  penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri (orang pribadi maupun badan) dan bentuk usaha tetap yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong Pph 21.
Dasar Hukum Pph Pasal 23
1.      UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang pajak penghasilan
2.      Peraturan Menteri No. 244/PMK.03/2008
Pemotong Pph Pasal 23
1.      Badan Pemerintah
2.      Subjek pajak dalam negeri
3.      Penyelenggara kegiatan
4.      Bentuk usaha tetap\
5.      Perwakilan perusahaan di luar negeri laiinya
Subjek Pajak Pph Pasal 23
1.      Wajib Pajak dalam Negeri (orang pribadi maupun badan)
2.      Bentuk Usaha Tetap (BUT)
Objek Pajak Pph Pasal 23
1.      Dividen
2.      Bunga
3.      Royalti
4.      Hadiah, penghargaan, bonus dan sejenisnya
5.      Sewa
6.      Imbalan
Bukan Objek Pajak

1.
penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;
2.
sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usahaa dengan hak opsi;
3.
dividen atau bagian laba yang diterimaa atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia, dengan syarat :

a.
dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan

b.
bagi Perseroan Terbatas, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut;
4.
bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5 tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian izin usaha:
5.
bagian laba yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:

a.
merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan; dan

b.
sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
6.
Sisa Hasil Usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
7.
bunga simpanan yang tidak melebihi batas yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. Sesuai Keputusan Menteri Keuangan telah ditetapkan batas jumlah sebesar Rp. 240.000,00 setiap bulan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
Atas bunga simpanan yang jumlahnya di atas Rp. 240.000,00 dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% dari seluruh bunga yang diterima dan bersifat final.



Tarif Pph Pasal 23
Daftar Obyek Pemotongan PPh Pasal 23 
Obyek Pemotongan; 
  Tarif x  Jumlah Bruto
 Tarif Ps 23
Penghasilan Netto
( % x Jumlah Bruto)
Sifat
Dividen
15 %
  15 %

Tidak final
bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang
15 %
  15 %

Tidak final
Royalti
15 %
  15 %

Tidak final
Hadiah dan penghargaan
15 %
 15 %

Tidak final
Sewa kendaraan angkutan darat
  3 %
15 %
20 %
Tidak final
Sewa dan Penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta (kecuali yg telah diatur PP29/1996 yaitu sewa tanah dan bangunan serta sewa kendaraan angkutan darat)
  6 %
15 %
40 %
Tidak final
a. Jasa Profesi,
b. Jasa Konsultan, kecuali konsultan konstruksi
c. Jasa Akuntansi dan Pembukuan
d. Jasa Penilai
e. Jasa Aktuaris
  7,5 %
15 %
50 %
Tidak final
a.    Jasa tehnik dan jasa manajemen
  6 %
15 %
  40 %
  Tidak final
b.    Jasa perancang/desain:
-        Jasa perancangan interior dan jasa perancang pertamanan;
-        Jasa perancangan mesin dan jasa perancang peralatan;
-        Jasa perancang alat2 transportasi/ kendaraan
-        Jasa perancang iklan/logo;
-        Jasa perancang alat kemasan
6 %
15 %
40 %
Tidak final
c.     Jasa instalasi/pemasangan:
-  Jasa instalasi/pemasangan mesin, listrik/telepon/air/gas/AC/TV Kabel, kecuali dilakukan WP yg ruang lingkup pekerjaannya di bidang konstruksi dan mempunyai izin/sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
-  Jasa instalasi/pemasangan peralatan
6 %
15 %
40 %
Tidak final
d.    Jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan:
-  Jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan mesin listrik/telepon/air/gas/AC/TV Kabel;
-  Jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan peralatan;
- Jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan alat-alat transportasi/kendaraan;
-  Jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan bangunan, kecuali dilakukan WP yg ruang lingkup pekerjaannya di bidang konstruksi dan mempunyai izin/sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
6 %
15 %
40 %
Tidak final
e. Jasa pengeboran (jasa drilling) dibidang penambangan minyak dan gas bumi (migas), kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap;
6 %
15 %
40 %
Tidak final
6 %
15 %
40 %
Tidak final
g.   Jasa penambangan dan jasa penunjang dibidang penambangan selain migas; 
6 %
15 %
40 %
Tidak final
h.   Jasa penunjang dibidang penerbangan dan bandar udara;
6 %
15 %
40 %
Tidak final
i.  Jasa penebangan hutan, termasuk land clearing;  
6 %
15 %
40 %
Tidak final
j.  Jasa pengolahan/pembuangan limbah  
6 %
15 %
40 %
Tidak final
k. Jasa maklon  
6 %
15 %
40 %
Tidak final
l. Jasa rekruitmen/penyedia tenaga kerja
6 %
15 %
40 %
Tidak final
m. Jasa perantara
6 %
15 %
40 %
Tidak final
n. Jasa dibidang perdagangan surat-surat berharga. , kecuali yang dilakukan BEJ,BES,KSEI dan KPEI
6 %
15 %
40 %
Tidak final
o.  Jasa kustodian/penyimpanan/penitipan, kecuali yang dilakukan KSEI dan tidak  termasuk sewa gudang yang telah dikenakan PPh final berdasarkan PP No.29 Tahun 1996  
6 %
15 %
40 %
Tidak final
p. Jasa telekomunikasi yang bukan untuk umum  
6 %
15 %
40 %
Tidak final
q  Jasa pengisian suli suara (dubbing) dan/atau mixing film.  
6 %
15 %
40 %
Tidak final
r.  Jasa pemanfaatan informasi dibidang teknologi, termasuk jasa internet.  
6 %
15 %
40 %
Tidak final
s.    Jasa sehubungan dengan sofware komputer, termasuk perawatan/pemeliharaan dan perbaikan.  
6 %
15 %
40 %
Tidak final
Jasa pelaksana konstruksi, termasuk jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan bangunan, jasa instalasi/pemasangan mesin, listrik/telepon/air/gas/AC/TV Kabelsepanjang jasa tersebut dilakukan wajib pajak yang ruang lingkup pekerjaannya dibidang konstruksi dan mempunyai izin/sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
4.95 % (5%)
15 %
13 1/3 %
Tidak final
a. Jasa Perencana konstruksi
b. Jasa pengawasan konstruksi
3,99 %
 (4 %)
15 %
26 2/3 %
Tidak final
Jasa pembasmian hama dan jasa pembersihan
1,5 %
15 %
10 %
Tidak final
Jasa Catering
1,5 %
15 %
10 %
Tidak final
 Jasa selain tersebut diatas yang pembayarannya dibebankan kepada APBN atau APBD
  1,5 %
15 % 
10 %
Tidak final





Bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi, diatur dalam KMK 605/KMK.04/1994
15 %


Final





Yang dimaksud dengan  Jasa Penunjang dibidang Penambangan Migas adalah :
6 %
15 %
40 %
Tidak final
a.     Jasa penyemenan dasar (primary cementing), yaitu penempatan bubur semen secara tepat diantara pipa selubung dan lubang sumur;
b.     Jasa penyemenan perbaikan (remedial cementing), yaitu penempatan bubur semen untuk maksud2:
-        Penyumbatan kembali formasi yang sudah kosong;
-        Penyumbatan kembali zona yang berproduksi air;
-        Perbaikan dari penyemenan dasar yang gagal;
-        Penutupan sumur;
c.     Jasa pengontrolan pasir (sand control), yaitu jasa yang menjamin bahwa bagian2 formasi yang tidak terkonsolidasi tidak akan ikut terproduksi ke dalam rangkaian pipa produksi dan menghilangkan kemungkinan tersumbatnya pipa;
d.     Jasa pengasaman (matrix acidizing), yaitu pekerjaan untuk memperbesar daya tembus formasi dan menaikkan produktifitas dengan jalan menghilangkan material penyumbat yang tidak diinginkan;
e.     Jasa peretakan hidrolika (hydraulic), yaitu pekerjaan yang dilakukan dalam hal cara pengasaman tidak cocok, misalnya perawatan pada formasi yang mempunyai daya tembus sangat kecil;
f.      Jasa nitrogen dan gulungan pipa (nitrogen dan coil tubing), yaitu jasa yang dikerjakan untuk menghilangkan cairan buatan yang berada dalam sumur baru yang telah selesai, sehingga aliran yang terjadi sesuai dengan tekanan asli formasi dan kemudian menjadi besar sebagai akibat dari gas nitrogen yang telah dipompakan ke dalam cairan buatan dalam sumur;
g.     Jasa uji kandungan lapisan (drill stem testing), penyelesaian sementara suatu sumur baru agar dapat mengevaluasi kemampuan berproduksi;
h.     Jasa reparasi pompa reda (reda repair);
i.      Jasa pemasangan instalasi dan perawatan;
j.      Jasa penggantian peralatan/material;
k.      Jasa mud logging, yaitu memasukan lumpur ke dalam sumur;
l.      Jasa mud engineering;
m.   Jasa well logging & perforating;
n.     Jasa stimulasi dan secondary decovery;
o.     Jasa well testing & wire line service;
p.     Jasa alat kontrol navigasi lepas pantai yang berkaitan dengan drilling;
q.     Jasa pemeliharaan untuk pekerjaan drilling;
r.      Jasa mobilisasi dan demobilisasi anjungan drilling;
s.      Jasa lainnya yang sejenis di bidang pengeboran migas





Yang dimaksud dengan  Jasa penambangan dan   jasa penunjang di bidang penambangan selain migas, adalah :
6 %
15 %
40 %
Tidak final
a.   Jasa pengeboran;
b.   Jasa penebasan;
c.   Jasa pengupasan dan pengeboran;
d.   Jasa penambangan;
e.   Jasa pengangkutan/sistem transportasi, kecuali jasa angkutan umum;
f.    Jasa pengolahan bahan galian;
g.   Jasa reklamasi tambang;
h.   Jasa pelaksanaan mekanikal,elektrikal, manufaktur, fabrikasi dan penggalian/pemindahan tanah;
i.    Jasa lainnya yang sejenis di bidang pertambangan umum. 





Yang dimaksud dengan  Jasa Penunjang dibidang Penerbangan dan Bandar Udara adalah;
6 %
15 %
40 %
Tidak final
A. Bidang Aeronautika, termasuk




- Jasa pendaratan, Penempatan, Penyimpanan Pesawat Udara dan Jasa lainnya sehubungan dengan pendaratan pesawat udara;




- Jasa penggunaan Jembatan Pintu (Avio Bridge);




- Jasa Pelayanan Penerbangan




- Jasa Ground Handling




- Jasa penunjang lainnya di bidang aeronautika




B. Bidang Non_Aeronautika, termasuk




- Jasa boga




- Jasa penunjang lainnya di bidang Non-aeronautika









Yang dimaksud dengan  Jasa Telekomunikasi Yang Bukan Untuk Umum adalah;
6 %
15 %
40 %
Tidak final
a. Jasa komunikasi satelit (VSAT)




b. Jasa Interkoneksi




c. Sirkit Langgnanan




d. Sambungan Data Langsung




e. Sambungan Komunikasi Data Paket




f. Jasa telekomunikasi yang bukan untuk umum lainnya




Jenis Jasa Lain Dan Perkiraan Penghasilan Neto Atas Jasa Teknik, Jasa Manajemen, Dan Jasa Lain

No.
Perkiraan Penghasilan Neto
Jenis Jasa
1.
50% dari jumlah bruto tidak   termasuk PPN
Jasa profesi, termasuk jasa konsultan hukum dan jasa konsultasi pajak
2.
40% dari jumlah bruto tidak   termasuk PPN
a.
Jasa teknik dan jasa manajemen
b.
Jasa perancang/desain :
u
Jasa perancang interior dan jasa perancang pertamanan;
u
Jasa perancang mesin dan jasa perancang peralatan;
u
Jasa perancang alat-alat transportasi/kendaraan;
u
Jasa perancang iklan/logo;
u
Jasa perancang alat kemasan.
c.
Jasa instalasi/pemasangan :
u
Jasa instalasi/pemasangan mesin dan jasa instalasi/pemasangan peralatan;
u
Jasa instalasi/pemasangan listrik/telepon/air/gas/TV kabel.
d.
Jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan :
u
Jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan mesin dan jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan peralatan;
u
Jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan alat-alat transportasi/kendaraan;
u
Jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan  bangunan.
e.
Jasa kustodian/penyimpanan/penitipan, tidak termasuk sewa gudang yang telah dikenakan PPh Final berdasarkan PP Nomor 29 Tahun 1996.
f.
Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga.
g.
Jasa pemanfaatan informasi di bidang teknologi, termasuk jasa internet.
h.
Jasa telekomunikasi yang bukan untuk umum.
i.
Jasa akuntansi dan pembukuan.
j.
Jasa pengolahan/pembuangan limbah.
k.
Jasa penebangan hutan, termasuk land clearing.
l.
Jasa pengeboran (jasa drilling) di bidang penambangan minyak gas dan bumi (migas), kecuali yang dilakukan oleh Bentuk Usaha Tetap.
m.
Jasa penunjang di bidang penambangan migas.
n.
Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas.
o.
Jasa perantara.
p.
Jasa penilai.
q.
Jasa aktuaris.
r.
Jasa pengisian sulih suara (dubbing) dan/atau mixing film.
s.
Jasa maklon.
t.
Jasa rekruitmen/penyediaan tenaga kerja.
u.
Jasa sehubungan dengan software komputer, termasuk perawatan/pemeliharaan dan perbaikan.
3.
26,67% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN
a.
Jasa perencanaan konstruksi.
b.
Jasa pengawasan konstruksi
4.
13,33% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN
Jasa pelaksanaan konstruksi
5.
10% dari jumlah bruto tidak   termasuk PPN
a.
Jasa pembasmian hama
b.
Jasa selain jasa-jasa tersebut di atas yang pembayarannya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Perkiraan Penghasilan Neto Atas Penghasilan Sewa (Kecuali Persewaan Tanah/Bangunan) Dan Penggunaan Harta

No.
Perkiraan Penghasilan Neto
Jenis Jasa
1.
20% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN
Sewa dan penghasilan lainnya sehubungan dengan pengunaan   harta khusus kendaraan angkutan darat.
2.
40% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN
Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan persewaan tanah dan atau bangunan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final.




Saat Terutang, Penyetoran, Dan Pelaporan

1.
Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau pada akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan;
Yang dimaksud dengan saat terutangnya penghasilan yang bersangkutan adalah saat pembebanan sebagai biaya oleh pemotong pajak sesuai dengan metode pembukuan yang dianutnya.
2.
Pajak Penghasilan Pasal 23 harus disetor oleh Pemotong Pajak selambat-lambatnya tanggal 10 takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak.
3.
Pemotong PPh Pasal 23 diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa selambat-lambatnya 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.
4.
Pemotong PPh Pasal 23 harus memberikan tanda bukti pemotongan kepada orang pribadi atau badan yang dibebani membayar Pajak Penghasilan yang dipotong.

Kasus Perhitungan
Menghitung Pph Pasal 23 atas deviden
Pt Solusindo membayarkan deviden kepada CV Perkasa pada bulan Maret 2009 sebesar Rp 200.000.000,-
Maka Pph Pasal 23 yang dipotong PT Solusindo adalah
            Pph Pasal 23 = 15% x Rp 200.000.000,- = Rp 30.000.000,-

Menghitung Pph Pasal 23 atas Royalti
CV Selera Makan membayar royalty kepada Bu Maria atas pemakaian merk Ayam Goreng “Bu Maria” sebesar Rp 30.000.000,- maka Pph pasal 23 sebesar:
            Pph Pasal 23 = 15% x Rp 30.000.000,- = Rp 4.000.000,-
Apabila Bu Maria belum memiliki NPWP maka Pph pasal 23 yang dipotong CV Selera Makan sebesar:
            Pph pasal 23 = Rp 30.000.000,- = Rp 9.000.000,-


D.  PAJAK PENGHASILAN PASAL 24
Dasar Hukum
UU No. 7 Tahun 1983 Tentang PPh, terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008.
Pengertian
PPh Pasal 24 adalah salah satu jenis pelunasan PPh dalam tahun berjalan yang merupakan pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh WP dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan UU PPh dalam tahun pajak yang sama.
Perhitungan besarnya pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan Wajib Pajak dalam negeri. Pengkreditan pajak luar negeri dilakukan dalam tahun digabungkannya penghasilan dari luar negeri dengan penghasilan di Indonesia.
Penggabungan Penghasilan
Penggabungan penghasilan yang berasal dari luar negeri dilakukan sebagai berikut :
  1. Untuk penghasilan dari usaha, yang dilakukan dalam tahun pajak diperolehnya penghasilan tersebut
  2. Untuk penghasilan lainnya yang dilakukan dalam tahun pajak diterimanya penghasilan tersebut
  3. Untuk penghasilan berupa deviden yang diperoleh wajib pajak dalam negeri atas penyertaan modal sekurang-kurangnya 50% dari jumlah saham yang disetor, atau secara bersama-sama dengan wajar dalam negeri lainnya sekurang-kurangnya sebesar 50% dari jumlah saham yang disetor pada badan usaha di luar negeri sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek, dilakukan dalam tahun pajak pada saat perolehan deviden tersebut.
Contoh :
PT Techno Dewata di Denpasar dalam tahun pajak 2012 menerima dan memperoleh penghasilan netto dari sumber luar negeri sebagai berikut :
  1. Hasil usaha di Kenya dalam tahun pajak 2012 sebesar Rp 1.000.000.000
  2. Deviden atas pemilikan saham pada "Acer Ltd." di Cina sebesar Rp 450.000.000 yaitu sebesar dari keuntungan tahun 2010 yang ditetapkan dalam RUPS tahun 2011 dan baru dibayar pada tahun 2012
  3. Deviden atas penyertaan saham sebanyak 65% pada "Anaheim Electronic" di Amerika yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek sebesar Rp 80.000.000, yaitu berasal dari keuntungan saham 2011 yang berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan ditetapkan diperoleh pada tahun 2012.
  4. Bunga triwulan III tahun 2012 sebesar Rp 20.000.000 dari "Stark Enterprise" di Jerman yang baru akan diterima pada bulan April tahun 2013.

Penghasilan dari sumber luar negeri yang digabungkan dengan penghasilan dalam negeri dalam tahun pajak 2012 adalah penghasilan pada nomor 1, 2, dan 3, sedangkan penghasilan pada huruf 4, digabungkan dengan penghasilan dalam negeri tahun pajak 2013.
Sumber Penghasilan
            Dalam menghitung batas jumlah pajak yang boleh dikreditkan, sumber penghasilan ditentukan sebagai berikut:
  1. Penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari pengalihannya
  2. Penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta gerak
  3. Penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak
  4. Penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan
  5. Penghasilan bentuk usaha tetap
  6. Penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda turut serta dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan pertambangan.
  7. Keuntungan karena pengalihan harta tetap
  8. Keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu bentuk usaha tetap.
Batas Maksimum Kredit Pajak
Batas maksimum kredit pajak diambil yang terendah di antara 3 unsur/perhitungan berikut:
  1. Jumlah pajak yang terutang atau dibayar di luar negeri
  2. (Penghasilan luar negeri : Seluruh penghasilan kena pajak) x PPh atas seluruh yang dikenakan tarif pasal 17
  3. Jumlah pajak yang terutang untuk seluruh penghasilan kena pajak
Contoh:
PT Troll memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2013 sebagai berikut:
Penghasilan dari luar negeri Rp 3.000.000.000, dengan tarif pajak sebesar 40 %
Penghasilan usaha di Indonesia sebesar Rp 1.000.000.000
Maka jumlah penghasilan neto adalah:
Rp 3.000.000.000 + Rp 1.000.000.000 = Rp 4.000.000.000
Batas maksimum kredit pajak diambil terendah dari 3 perhitungan berikut:
  1. PPh terutang di luar negeri:
40% x Rp 3.000.000.000 = Rp 1.200.000.000
  1. (Rp 3.000.000.000 : Rp 4.000.000.000) x (Rp 4.000.000.000 x 28%) =
Rp 840.000.000
  1. PPh Terutang:
Rp 4.000.000.000 x 28% = Rp 1.120.000.000
Dengan demikian kredit pajak yang diperkenankan adalah sebesar Rp 840.000.000.
Batas Maksimum Kredit Pajak Untuk Setiap Negara
            Apabila penghasilan luar negeri betasal dari beberapa negara, maka penghitungan batas maksimum kredit pajak dilakukan untuk masing-masing negara.
Contoh :
PT Osborn memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2013 sebagai berikut:
1.      Di negara Ukraina, memperoleh penghasilan Rp 2.000.000.000 dengan tarif pajak sebesar 35% (Rp 700.000.000)
2.      Di negara Madagaskar, memperoleh penghasilan Rp 1.000.000.000 dengan tarif pajak sebesar 20% (Rp 200.000.000)
3.      Penghasilan usaha di Indonsia Rp 5.000.000.000
Penghitungan kredit pajak luar negeri adalah sebagai berikut:
  1. Penghasilan luar negeri
Negara Ukraina                                                                                        Rp 2.000.000.000
Negara Madagaskar                                                                                  Rp 1.000.000.000
Jumlah penghasilan luar negeri                                                                 Rp 3.000.000.000
  1. Penghasilan dalam negeri Rp 5.000.000.000
  2. Jumlah penghasilan neto (PKP):
Rp 3.000.000.000 + Rp 5.000.000.000 = Rp 8.000.000.000
  1. PPh terutang:
Rp 8.000.000.000 x 25% = Rp 2.240.000.000
  1. Batas maksimum kredit pajak untuk masing-masing negara:
a)      Untuk negara Ukraina:
(Rp 2.000.000.000 : Rp 8.000.000.000) x Rp 2.240.000.000 = Rp 560.000.000
Pajak terutang di Ukraina sebesar Rp 700.000.000, maka maksimum kredit pajak yang dapat dikreditkan adalah Rp 560.000.000.
b)      Untuk negara Madagaskar:
(Rp 1.000.000.000 : Rp 8.000.000.000) x Rp 2.240.000.000 = Rp 280.000.000
Pajak terutang di Madagaskar sebesar Rp 200.000.000, maka maksimum kredit pajak yang dapat dikreditkan adalah Rp 200.000.000
E.  PAJAK PENGHASILAN PASAL 26
Dasar Hukum
  1. UU Nomor 36 Tahun 2008
  2. 624/KMK.04/1994
  3. SE - 25/PJ.4/1995
Pengertian
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 adalah PPh yang dikenakan/dipotong atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia.
Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan.
Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, adalah negara tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak luar negeri yang sebenarnya menerima manfaat dari penghasilan tersebut (beneficial owner).
Pemotong PPh Pasal 26
            Pemotongan pajak berdasarkan ketentuan pasal 26 wajib dilakukan oleh:
  1. Badan Pemerintah;
  2. Subjek Pajak dalam negeri;
  3. Penyelenggara Kegiatan;
  4. BUT;
  5. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya selain BUT di Indonesia.
Tarif dan Objek PPh Pasal 26
  1. 20% (final) dari jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri berupa :
    1. dividen;
    2. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
    3. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
    4. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
    5. hadiah dan penghargaan
    6. pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
    7. Premi swap dan transaksi lindung lainnya; dan/atau
    8. Keuntungan karena pembebasan utang.
  2. 20% (final) dari perkiraan penghasilan neto berupa :
    1. penghasilan dari penjualan harta di Indonesia;
    2. premi asuransi, premi reasuransi yang dibayarkan langsung maupun melalui pialang kepada perusahaan asuransi di luar negeri.
  3. 20% (final) dari perkiraan penghasilan neto atas penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara conduit company atau spesial purpose company yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara yang memberikan perlindungan pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau BUT di Indonesia;
  4. 20% (final) dari Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu BUT di Indonesia, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia.
  5. Tarif berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan negara pihak pada persetujuan.
Contoh :
Mike adalah karyawan asing pada perusahaan PT Dira Consult. Mike bertempat tinggal kurang dari 183 hari. Mike sudah beristri dan mempunyai seorang anak. Dalam bulan April 2013, Mike memperoleh gaji US$ 5.000 sebulan dengan kurs Rp 10.500 per US$.
Penghitungan PPh pasal 26:
Penghasilan bruto sebulan:
US$ 5000 x Rp 10.500 = Rp 52.500.000
Penerapan tarif:
20% x 52.500.000 = Rp 10.500.000
PPh pasal 26 atas gaji Mike bulan April 2009 adalah Rp 10.500.000.
Saat Terutang, Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 26
  1. PPh pasal 26 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan terutangnya penghasilan, tergantung yang mana terjadi lebih dahulu.
  2. Pemotong PPh pasal 26 wajib membuat bukti pemotongan PPh pasal 26 rangkap 3 :
    1. lembar pertama untuk Wajib Pajak luar negeri;
    2. lembar kedua untuk Kantor Pelayanan Pajak;
    3. lembar ketiga untuk arsip Pemotong.
  3. PPh pasal 26 wajib disetorkan ke bank Persepsi atau Kantor Pos dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP), paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak.
  4. SPT Masa PPh Pasal 26, dengan dilampiri SSP lembar kedua, bukti pemotongan lembar kedua dan daftar bukti pemotongan disampaikan ke KPP setempat paling lambat 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.
Pengecualian
  1. BUT dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 26 apabila Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari BUT ditanamkan kembali di Indonesia dengan syarat:
    1. Penanaman kembali dilakukan atas seluruh penghasilan kena pajak setelah dikurangi PPh dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri, dan;
    2. dilakukan dalam tahun berjalan atau selambat-lambatnya tahun pajak berikutnya dari tahun pajak diterima atau diperoleh penghasilan tersebut;
    3. tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut sekurangkurangnya dalam waktu 2 (dua) tahun sesudah perusahaan tempat penanaman dilakukan, mulai berproduksi komersil.
  2. Badan-badan Internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
F.   PAJAK PENGHASILAN FINAL PASAL 4 AYAT 2
Dasar Hukum
  1. PP No. 131 Tahun 2000
  2. PP No. 41 Tahun 1994 jo. PP No. 14 Tahun 1997
  3. PP No. 16 Tahun 2009
  4. PP No. 132 Tahun 2000
  5. KEP-395/PJ./2001
  6. PP No. 29 Tahun 1996 jo. PP No. 5 Tahun 2002
  7. PP No. 48 Tahun 1994 jo. PP No. 27 Tahun 1996 jo. PP No. 79 Tahun 1999 jo. PP No. 71 Tahun 2008
  8. PP No. 51 Tahun 2008
  9. PP No. 4 Tahun 1995
Pengertian
Adalah pajak atas penghasilan sebagai berikut:
  1. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;
  2. Penghasilan berupa hadiah undian;
  3. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;
  4. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan
  5. Penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
  6. Penghasilan dari bunga atau diskonto atau obligasi yang dijual di bursa efek.
Pemotong PPh Pasal 4 ayat (2)
  1. Koperasi
  2. Penyelenggara kegiatan
  3. Otoritas bursa
  4. Bendaharawan

Penerima Penghasilan Yang Dipotong PPh Pasal 4 ayat (2)
  1. Penerima bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi
  2. Penerima hadiah undian
  3. Penjual saham dan sekuritas lainnya
  4. Pemilik properti berupa tanah dan/atau bangunan
Tarif
  1. Pajak Penghasilan atas Penghasilan Berupa Bunga Deposito dan Tabungan, dan Diskonto Sertifikat Bank Indonesia
Atas penghasilan  berupa bunga yang berasal dari deposito dan tabungan serta diskonto SBI yang diterima oleh Wajib Pajak dalam negeri dab BUT dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final, dengan besarnya PPh yang dipotong adalah 20% dari jumlah bruto. Sedangkan Wajib Pajak luar negeri selain BUT, besarnya PPh yang dipotong adalah 20% dari jumlah bruto atau tarif berdasarkan P3B yang berlaku.
Pengecualian:
a)      Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI sepanjang jumlah deposito dan tabungan serta SBI tersebut tidak melebihi Rp 7.500.000,00 dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah.
b)      Bunga dan diskonto yang diterima atau diperoleh bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia.
c)      Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI yang diterima atau diperoleh Dana Pensiun yang telah disahkan Menteri Keuangan, sepanjang dananya diperoleh dari sumber pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 Tentang Dana Pensiun.
d)     Bunga tabungan pada bank yang ditunjuk Pemerintah dalam rangka pemilikan rumah sederhana dan sangat sederhada, kapling siap bangun untuk rumah sederhana dan sangat sederhana, atau rumah susun sederhana sepanjang untuk dihuni sendiri.
  1. Pajak Penghasilan atas Penghasilan Berupa Bunga atau Diskonto Obligasi yang Dijual di Bursa Efek
a.       Atas bunga obligasi dengan kupon sebesar 15% bagi Wajib Pajak dalam negeri dan BUT, dan 20% atau tarif sesuai ketentuan persetujuan P3B bagi Wajib Pajak penduduk/berkedudukan di luar negeri, dari jumlah bruto bunga sesuai dngan masa kepemilikan obligasi.
b.      Atas diskonto obligasi dengan kupon sebesar 15% bagi Wajib Pajak dalam negeri dan BUT, dan 20% atau tarif sesuai ketentuan persetujuan P3B bagi Wajib Pajak penduduk/berkedudukan di luar negeri, dari selisih harga jual obligasi atau nilai nominal di atas harga perolehan obligasi, tidak termasuk bunga berjalan.
c.       Atas diskonto obligasi tanpa bunga sebesar 20% bagi Wajib Pajak dalam negeri dan BUT, dan 20% atau tarif sesuai ketentuan persetujuan P3B bagi Wajib Pajak penduduk/berkedudukan di luar negeri, dari selisih harga jual obligasi atau nilai nominal di atas harga perolehan obligasi.
  1. Pajak Penghasilan atas Penghasilan berupa sewa Tanah dan/atau Bangunan
Besarnya PPh yang dipotong adalah sebesar 10% dari jumlah bruto nilai sewa tanah dan/atau bangunan.
  1. Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan
a)      Wajib Pajak yang mengalihkan hak tanah dan/atau bangunan wajib membayar PPh Final 5% dari jumlah bruto nilai pengalihan
b)      Wajib Pajak Orang Pribadi yang mengalihkan hak atas tanah dan/atau bangunan yang jumlah bruto nilai pengalihannya kurang dari Rp 60 juta namun penghasilan lainnya dalam 1 tahun melebihi PTKP, wajib membayar 5% dari jumlah bruto nilai pengalihan.
c)      Pengalihan hak atas Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, diwajibkan menyetor PPh 1% dari jumlah bruto nilai pengalihan.
  1. Usaha Jasa Konstruksi
Besarnya PPh yang dipotong dari jumlah jasa adalah sebagai berikut:
a)      Jasa Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha kecil, sebesar 2%
b)      Jasa Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha, sebesar 4%
c)      Jasa Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa selain Penyedia Jasa yang telah disebutkan tadi, sebesar 3%
d)     Jasa Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha, sebesar 4%
e)      Jasa Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha, sebesar 6 %
  1. Pajak Penghasilan atas Hadiah Undian
Besarnya PPh yang wajib dipotong adalah sebesar 25% dari jumlah bruto hadiah undian.
  1. Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Derivatif Berupa Kontrak Berjangka yang Diperdagangkan di Bursa.
Atas penghasilan yang diterima, dikenakan pajak sebesar 2,5% dari marjin awal.


0 comments:

Post a Comment