Monday, April 15, 2013
I.
Penafsiran
Interpretasi
atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi
penjelasan yang tidak jelas mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup
kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu aliran Legisme
terikat sekali pada undang-undang. Aliran Freie rechtslehre bebas/terikat pada
undang-undang sedangkan aliran Rechtsvinding merupakan aliran diantara kedua
aliran sebelumnya. Atau dengan perkatan lain aliran Rechtsvinding tetap berpegang
pada undang-undang, tetapi tidak seketat aliran Legisme dan tidak sebebas
aliran Freie Rechtslehre.
Indonesia
menggunakan aliran Rechtsvinding berarti hakim memutuskan perkara berpegang
pada undang-undang dan hukum lainnya yang berlaku di dalam masyarakat secara
gebonden vrijheid (kebebasan yang terikat) dan vrije gebondenheid (ketertarikan
yang bebas). Tindakan hakim tersebut dilindungi pasal 20 AB (yang menyatakan
bahwa hakim harus mengadili berdasarkan undang-undang). dan pasal 22 AB
(mengatakan hakim tidak boleh menolak mengadili perkara yang diajukan kepadanya
dengan alasan undang-undangnya tidak lengkap). Jika hakim menolak mengadili
perkara dapat dituntut.
Apabila
undang-undangnya tidak ada (kekosongan hukum) hakim dapat menciptkan hukum
dengan cara konstruksi hukum (analogi), penghalisan hukum (rechtsverfijning dan
argumentum a contracio. Penafsiran atau interpretasi hukum ialah mencari dan
menetapkan pengertian atas dalil-lalil yang tercantum dalam undang-undang
sesuai dengan cara yang dikehendaki serta yang dimaksud oleh pemebuat
undang-undang.
I.I Penafsiran Historis
Penafsiran
historis atau sejarah adalah meneliti sejarah dari undang-undang yang
bersangkutan, dengan demikian hakim mengetahui maksud pembuatannya. Penafsiran
historis dibedakan menjadi penafsiran menurut sejarah undang-undang (wet
historische interpretatie) dan penafsiran menurut sejarah hukum (rechts
historische interpretatie).
Misalnya
dokumen rapat para pembuat undang-undang, dokumen rapat pembahasan antar
pemerintah dengan DPR, dan dokumen rapat pembahasan antar pemerintah dengan
DPR, dan dokumen surat-surat lainnya yang dibuat secara resmi baik oleh
pemerintah maupun pemerintah dengan DPR. Dengan menggunakan penafsiran historis
dapat diketahui maksud dari pembuat undang-undang atas isi dari suatu
undang-undang.
Penafsiran
undang-undang menurut sejarah, maka substansinya adalah menelusuri secara
saksama dan cermat terhadap latar belakang terbentuk atau lahirnya sebuah
Undang-undang. Penafsiran menurut sejarah terbagi atas 2 (dua), yaitu
(a).
Penafsiran menurut sejarah undang-undang;
(b)
Penafsiran menurut sejarah hukum.
Selain
itu, sejarah Undang-undang hendak dicari maksud ketentuan undang-undang seperti
yang dilihat oleh pembentuk Undang-undang pada waktu pembentukannya. Pikiran
yang mendasari metode interpretasi Undang-undang adalah kehendak pembentuk
undang-undang yang tercantum dalam konteks Undang-undang atau yang lazim
disebut penafsiran subyektif.
I.II Penafsiran Sosiologis
Penafsiran
sosiologis adalah penafsiran atas suatu ketentuan dalam undang-undang yang
disesuaikan dengan perkembangan dan dinamika kehidupan masyarakat atau penafsiran
yang disesuaikan dengan keadaan sosial dalam masyarakat agar penerapan hukum
sesuai dengan tujuannya yaitu kepastian hukum berdasarkan atas azas keadilan
masyarakat.
I.III Penafsiran Sistematik
Penafsiran
sistematis adalah penafsiran beberapa pasal yang mempunyai huruf dan bunyi yang
diharapkan dapat menjelaskan mengenai hal yang konkrit. Kalimat-kalimat yang
terpampang dalam rentetan kata-kata tersebut tersusun secara sistematis .
Selain itu, pasal-pasal yang terdapat dalam sebuah undang-undang memiliki
hubungan antara yang satu dengan yang lainnya atau menjelaskan antara pasal
yang satu dengan yang lainnya. Menurut Sudikno Mertokusumo, bahwa “ terjadinya
suatu undang-undang selalu berkaitan dan berhubungan dengan peraturan
perundang-undangan yang lain, dan tidak ada undang-undang yang berdiri sendiri
lepas sama sekali dari keseluruhan perundang-undangan”.
Sejalan
dengan pendapat Sudikno Mertokusumo dimaksud, Chainur Arrasyid mengungkapkan
bahwa “inti dari penafsiran sistematis terhadap undang-undang, yaitu setiap
undang-undang tidak terlepas antara satu dengan lainnya, selalu ada hubungannya
antara yang satu dengan yang lainnya sehingga seluruh perundang-undangan itu
merupakan kesatuan tertutup, yang rapi dan teratur”.
Penafsiran
menilik susunan yang berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik dalam UU
itu maupun dengan UU yang lainnya misalnya ”ketentuan paling menguntungkan”
dalam rumusan ayat 2 dari Pasal 1 KUHP apabila dihubungkan dengan rumusan ayat
1 pasal 1 KUHP yang merumuskan ”suatu perbuatan dapat dipidana kecuali berdasarkan
kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada, artinya semula
perbuatan tetentu dipidana, kemudian menurut ketentuan yang baru menjadi tidak
dapat dipidana. Misalnya sebulan yang lalu A melakukan perbuatan pidana yang
dapat dihukum, kemudian hari ini muncul UU yang mengatur perbuatan poidana
tesebut tidak dapat dihukum. Dengan demikian yang diberlakukan adalah UU pidana
baru yang menguntungkan.
I.IV Penafsiran Otentik
Penafsiran
otentik atau penafsian secara resmi yaitu penafsiran yang dilakukan oleh pembuat undang-undang itu sendiri, tidak
boleh oleh siapapun, hakim juga tidak boleh menafsirkan, penafsiran otentik
adalah penafsiran yang dilakukan oleh pembuat undang-undang. Dalam hal pembuat
undang-undang telah menjelaskan secara rinci beberapa pengertian atau istilah
yang terdapat dalam suatu undang-undang.
I.V Penafsiran Tata Bahasa
Penafsiran
tata bahasa adalah cara penafsiran berdasarkan bunyi kata-kata secara
keseluruhan, dengan berpedoman pada arti kata-kata yang berhubungan satu sama
lain, dalam kalimat-kalimat yang disusun oleh pembuat undang-undang. Penafsiran
tata bahasa merupakan penafsiran paling penting karena apabila kata-kata dalam
kalimat suatu pasal undang-undang telah jelas maksudnya, maka tidak boleh lagi
dipergunakan cara-cara penafsiran lainnya. Sehingga penting dalam menyusun
undang-undang untuk memilih kata-kata untuk kalimat yang menjadi aturan
nantinya agar tidak menimbulkan salah pengertian atau makna ganda.
I.VI Penafsiran Analogis
Dalam
pelaksanaan hukum, ada kalanya terjadi suatu kekosongan atau kevakuman hukum.
Kekosongan hukum ini dapat diisi oleh Hakim dengan penafsiran analogis atau
penafsiran atas suatu ketentuan dalam undang-undang dengan cara memberi kiasan
pada kata-kata yang tercantum dalam undang-undang. Penafsiran analogis sama
dengan penafsiran secara ekstensif yang maksudnya memperluas suatu aturan
hingga suatu peristiwa menjadi termasuk dalam aturan yang ada.
I.VII Penafsiran A Contrario
Penafsiran
A Contrario adalah penafsiran atas suatu ketentuan dalam undang-undang yang
didasarkan pada perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dan soal yang
diatur dalam pasal undang. Dalam Hukum pajak, Penafsiran A Contrario tidak
diperbolehkan karena akan merugikan wajib pajak dan menimbulkan ketidakpastian
dalam hukum yang sudah mengaturnya.
II.
Macam-macam
Ketetapan Pajak
Berbagai
produk hukum yang dapat diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam hal
ini Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan
(KPP/KPPBB) untuk mengetahui adanya kewajiban atau hak Wajib Pajak (WP) adalah
berupa surat ketetapan pajak terdiri atas 6 (enam) macam, yaitu :
a.
Surat Tagihan Pajak ( STP ), ( Pasal 14
Undang-undang Nomor 28 TAHUN 2007 )
b.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (
SKPKB ), ( Pasal 13 Undang-Undang Nomor 16 TAHUN 2000 )
c.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan ( SKPKBT ), ( Pasal 15 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007)
d.
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (
SKPLB ), ( Pasal 17 Undang-Undang Nomor 16 TAHUN 2000 )
e.
Surat ketetapan Pajak Nihil ( SKPN ), (
Pasal 17 A Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000)
f.
Surat Pemberitahuan Pajak Terutang
(SPPT)
a. Surat Tagihan Pajak (STP)
Surat
Tagihan Pajak adalah surat yang diterbitkan untuk melakukan tagihan pajak dan
atau sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda. Surat Tagihan Pajak
diatur dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 KUP. Surat tagihan Pajak
diterbitkan dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Apabila
Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar
2. Apabila dari hasil penelitian Surat
Pemberitahuan terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis
dan atau salah hitung
3. Apabila Wajib Pajak dikenakan sanksi
administrasi berupa denda dan atau bunga
4. Apabila pengusaha yang dikenakan pajak
berdasarkan undang-undang PPn dan perubahannya tidak melaporkan kegiatan
usahanya untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP).
5. Apabila pengusaha yang tidak
dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak tetapi membuat faktur pajak.
6. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai
pengusaha kena pajak tidak membuat atau membuat faktur pajak, tetapi tidak
tepat waktu atau tidak mengisi selengkapnya faktur pajak.
Penerbitan
surat tagihan pajak ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2%
sebulan untuk paling lama 24 bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak atau
tahun pajak sampai dengan diterbitkannya surat tagihan pajak.
b. Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
SKPKB
adalah surat ketetapan pajak yang diterbitkan untuk menentukan besarnya jumlah
pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak,
besarnya sanksi admnistrasi, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar. SKPKB
diatur dalam pasal 13 undang-undang KUP yang dapat diterbitkan dalam jangka
waktu 10 tahun sesudah saat tertanggalnya pajak, berakhirnya masa pajak, bagian
tahun pajak atau tahun pajak dalam hal-hal sebagai berikut :
1. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau
keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar.
2. Apabila surat pemberitahuan tidak
disampaikan dalam jangka waktu yang telah ditetapkan dan telah ditegur secara
tertulis, tidak disampaikan juga seperti ditentukan dalam surat teguran.
3. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atas
PPn dan PPnBM ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak
atau tidak seharusnya dikenakan tarif 0%.
4. Apabila wajib pajak tidak melakukan kewajiban
pembukuan dan tidak memenuhi permintaan dalam pemeriksaan pajak, sehingga tidak
dapat diketahui besarnya pajak yang terutang.
Penerbitan
SKPKB akan diikuti dengan sanksi administrasi yang bisa berupa denda maupun
kenaikan. Sanksi administrasi berupa denda
sebesar 2% sebulan akan dikenakan apabila berdasarkan hasil pemeriksaan
diketahui bahwa wajib pajak tidak atau kurang membayar besarnya pajak yang
terutang.
c. Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
SKPKBT
adalah Surat Ketetapan Pajak yang diterbitkan untuk menentukan tambahan atas
jumlah pajak yang telah ditetapkan dalam SKPKBT. SKPKBT diatur dalam pasal 13
undang-undang KUP yang diterbitkan untuk menampung beberapa kemungkinan yang
terjadi seperti :
1. Adanya SKPKBT yang telah ditetapkan
ternyata lebih rendah daripada perhitungan yang sebenarnya.
2. Adanya proses pengembalian pajak yang
telah ditetapkan dalam SKPLB yang seharusnya tidak dilakukan.
3. Adanya pajak terutang dalam surat
ketetapan pajak nihil (SKPN) yang ditetapkan ternyata lebih rendah.
Penerbitan
SKPKBT dilakukan apabila ditemukan data baru (novum) dan atau data yang semula
belum terungkap yang dapat menyebabkan penambahan pajak yang terutang.
d. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
(SKPLB)
SKPLB
adalah Surat Ketetapan Pajak yang diterbitkan untuk menentukan jumlah kelebihan
pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang
terutang atau tidak seharusnya terutang. SKPLB diatur dalm Pasal 17
Undang-undang KUP yang telah diterbitkan untuk hal-hal sebagai berikut:
1. Untuk
Pajak Penghasilan (PPh), jumlah kredit pajak lebih besar dari jumlah pajak yang
terutang, atau telah dilakukan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.
2. Untuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN),
Jumlah kredit pajak lebih besar dari jumlah pajak yang terutang, atau telah
dilakukan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.
3. Untuk Pajak Penjualan atas Barang Mewah
(PPnBM), jumlah pajak yang dibayar lebih besar dari jumlah pajak yang terutang
atau telah dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang.
SKPLB
akan diterbitkan jika ada permohonan tertulis dari wajib pajak.
e. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)
SKPN
adalah surat ketetapan pajak yang diterbitkan untuk menentukan jumlah pokok
pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan
tidak ada kredit pajak. SKPN diatur dalam Pasal 17A Undang-undang KUP dalam hal
sbb:
1. Untuk PPh, jumlah kredit pajak sama dengan
pajak yang terutang atau pajak yang tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
2. Untuk PPn, jumlah kredit pajak sama
dengan jumlah pajak yang terutang atau pajak tidak terutang dan tidak ada
kredit pajak.
3. Untuk PPnBM, jumlah pajak yang dibayar
sama dengan jumlah pajak yang terutang atau pajak tidak terutang dan tidak ada
pembayaran pajak.
f. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang
(SPPT)
SPPT
adalah surat yang diterbitkan oleh DJP untuk memberitahukan besarnya pajak yang
terutang kepada Wajib Pajak. SPPT diatur dalam Pasal 10 ayat 1 Undang-undang
Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). SPPT merupakan
dokumen yang berisi besarnya utang atas pajak bumi dan Bangunan yang harus
dilunasi oleh Wajib Pajak pada waktu yang telah ditentukan. SPPT diterbitkan
berdasarkan Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) yang telah disampaikan oleh
Wajib Pajak atau berdasarkan data Objek Pajak yang telah ada di Kantor
Pelayanan PBB.
III.
Daluwarsa
Penetapan
Berdasarkan
Pasal 13 ayat (4) UU KUP, besarnya pajak terutang yang diberitahukan oleh Wajib
Pajak dalam SPT Masa atau SPT Tahunan menjadi tetap dengan sendirinya atau
telah menjadi pasti karena hukum sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan apabila dalam jangka waktu 5 (lima) Tahun setelah
saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau
Tahun Pajak tidak diterbitkan surat ketetapan pajak. Hal ini diatur untuk
memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak berkenaan dengan pelaksanaan
pemungutan pajak dengan sistem self assesment.
Berdasarkan
Ketentuan Peralihan pasal 11 UU Nomor 28 Tahun 2007 disebutkan bahwa daluwarsa
penetapan untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak 2007 dan
sebelumnya, selain penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau
Pasal 15 ayat (4), berakhir paling lama pada akhir Tahun Pajak 2013.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment