Monday, April 15, 2013
A.
Dasar Penagihan Pajak
Dasar hukum penagihan pajak
terdapat di dalam Pasal 18 ayat (1) Undang- Undang No. 28 tahun 2007 tentang
perubahan ke tiga Undang-Undang No. 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan yang menyatakan
“Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan
Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali,
yang menyebabkan jumlah pajak yang masih
harus dibayar bertambah, merupakan dasar
penagihan pajak.”
(Pasal 18 ayat (1) Undang- Undang No. 28 tahun 2007)
Tahapan Penagihan Pajak
1. Surat Teguran
Apabila utang pajak yang
tercantum dalam Surat Tagihan Pajak, Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan, tidak dilunasi sampai melewati 7 hari batas waktu jatuh tempo (satu
bulan sejak tanggal diterbitkannya).
(Pasal 9 ayat (4) Peraturan Menteri Keuangan nomor 24/PMK.03/2008)
2.
Surat Paksa
Apabila utang pajak tidak
dilunasi setelah 21 hari dari tanggal surat teguran, maka akan diterbitkan
Surat Paksa yang disampaikan oleh Juru Sita Pajak Negara dengan dibebani biaya
penagihan paksa sebesar Rp. 50.000,- (Lima puluh ribu rupiah), utang pajak
harus dilunasi dalam waktu 2 x 24 jam.
(Pasal 12 Peraturan Menteri
Keuangan nomor 24/PMK.03/2008)
3.
Penyitaan
Apabila utang pajak belum juga
dilunasi dalam waktu 2 x 24 jam dapat dilakukan tindakan penyitaan atas
barang-barang WP, dengan dibebani biaya pelaksanaan sita sebesar Rp. 100.000,-
(Seratus ribu rupiah).
(Pasal 24 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan nomor 24/PMK.03/2008)
4.
Pelelangan
Dalam jangka waktu paling singkat empat
belas hari setelah penyitaan, utang pajak belum dilunasi maka akan dilanjutkan
dengan pengumuman lelang melalui media massa.
(Pasal 26
Peraturan Menteri Keuangan nomor 24/PMK.03/2008)
Apabila setelah lewat waktu 14 (empat belas) hari
sejak Pengumuman Lelang, Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan biaya
Penagihan Pajak, Pejabat melakukan penjualan barang sitaan Penanggung Pajak
melalui kantor lelang negara.
(Pasal 28
Peraturan Menteri Keuangan nomor 24/PMK.03/2008)
Dalam hal biaya penagihan paksa dan biaya
pelaksanaan sita belum dibayar maka akan dibebankan bersama-sama dengan biaya
iklan untuk pengumuman lelang dalam surat kabar dan biaya lelang pada saat pelelangan
Catatan:
Melihat uraian tersebut diatas dapat disimpulkan
bahwa waktu penagihan pajak dari saat tanggal jatuh tempo pelunasan pajak
sampai dengan pelaksanaan lelang dilakukan selama 58 hari (7 hari surat teguran
+ 21 hari Surat Paksa +2 hari Surat Sita +14 hari pengumuman lelang). Tetapi
karena kondisi daerah Indonesia yang sangat berbeda (tempat,dan jarak), maka
Kepala Kantor Wilayah Direktur Jenderal Pajak diberi wewenang untuk menetapkan
jadwal waktu penagihan pajak.
B.
Surat Teguran
Penyampaian surat
teguran merupakan awal pelaksanaan tindakan penagihan oleh fiskus untuk
memperingatkan Wajib Pajak yang tidak melunasi utang pajaknya sesuai dengan
keputusan penetapan (STP, SKPKB, SKPKBT) sampai dengan saat jatuh tempo. Surat
teguran adalah surat yang diterbitkan oleh pejabat untuk menegur atau
memperingatkan Wajib Pajak untuk melunasi utang pajaknya. Surat teguran
dikeluarkan apabila utang pajak yang tercantum dalam SPT, SKPKB atau SKPKBT
tidak dilunasi sampai melewati waktu hari dari batas waktu jatuh tempo 1 bulan
sejak tanggal diterbitkannya.
Diterbitkannya surat teguran,
karena:
a. Dalam hal WP tidak
menyetujui sebagian atau seluruhnya jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam
pembahasan akhir hasil pemeriksaan dan WP tidak mengajukan keberatan atas SKPKB
atau SKPKBT, kepada WP disampaikan Surat Teguran setelah lewat 7 (tujuh) hari
sejak saat jatuh tempo pengajuan keberatan;
b. Dalam hal WP tidak
menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam
pembahasan akhir hasil pemeriksaan, dan WP mengajukan permohonan banding atas
keputusan keberatan sehubungan dengan SKPKB atau SKPKBT, kepada WP disampaikan
Surat teguran setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pengajuan banding;
c. Dalam hal WP tidak
menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih dibayar dalam
pembahasan akhir hasil pemeriksaan, dan mengajukan permohonan banding atas
keputusan keberatan sehubungan dengan SKPKB atau SKPKBT, kepada WP disampaikan
Surat teguran setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pelunasan pajak
yang masih harus dibayar berdasarkan Putusan Banding;
d. Dalam hal WP menyetujui
seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil
pemeriksaan, kepada WP disampaikan Surat Teguran setelah 7 (tujuh) hari sejak
saat jatuh tempo pelunasan;
e. Dalam hal WP mencabut
pengajuan keberatan atas SKPKB atau SKPKBT setelah tanggal jatuh tempo
pelunasan tetapi sebelum tanggal diterima Surat Pemberitahuan Untuk Hadir oleh
WP, kepada WP disampaikan Surat Teguran setelah 7 (tujuh) hari sejak tanggal
pencabutan pengajuan keberatan tersebut; dan
f. Dalam rangka Penagihan Pajak
atas utang Bumi dan Bangunan dan/atau Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
yang tercantum dalam STPPBB, SKBKB, SKBKBT, STB atau Surat Keputusan Pembetulan,
Surat Keputusan Keberatan, atau Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak
yang harus dibayar bertambah, kepada WP disampaikan Surat teguran setelah 7
(tujuh) hari sejak tanggal jatuh tempo pelunasan. Penyampaian Surat Teguran
dapat dilakukan secara langsung, melalui pos atau melalui jasa ekspedisi atau
jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.
Tata Cara Penerbitan Surat
Teguran
Penerbitan Surat Teguran dilakukan pada Seksi Penagihan, dengan
prosedur
sebagai berikut:
1. Pelaksana pada Seksi
Penagihan meneliti Surat Ketetapan Pajak (SKP)/Surat Tagihan Pajak (STP)/ Surat
Tagihan Bea (STB) yang harus diterbitkan Surat Teguran dalam Sistem
Administrasi Perpajakan dan meminta persetujuan Kepala Seksi dan kemudian
diteruskan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak melalui Sistem Informasi DJP;
2. Kepala Kantor
Pelayanan Pajak memeriksa usulan penerbitan Surat Teguran danmemberikan
persetujuan penerbitan melalui Sistem Informasi DJP;
3. Pelaksana melihat
Sistem Informasi DJP dan memeriksa persetujuan penerbitanSurat Teguran dari
Kepala Kantor Pelayanan Pajak, mencetak Surat Teguran dan menyampaikannya
kepada Kepala Seksi Penagihan;
4. Kepala Seksi
Penagihan meneliti, memaraf Surat Teguran, dan menugaskan kepada Pelaksana
untuk menyampaikannya kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak;
5. Kepala kantor
Pelayanan Pajak meneliti, menandatangani Surat Teguran, dan meneruskan kepada
pelaksana untuk disampaikan kepada Wajib Pajak;
6. Pelaksana meneliti
Surat Teguran yang telah ditandatangani Kepala KantorPelayanan Pajak,
menatausahakan, dan menyampaikannya kepada Wajib Pajak melalui Subbag Umum.
C.
Surat Paksa
Surat Paksa berkepala
kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, mempunyai
kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan grosse akte yaitu
putusan pengadilan perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
1. SURAT PAKSA SEKURANG-KURANGNYA HARUS MEMUAT :
a) Nama Wajib Pajak, atau nama Wajib Pajak
dan Penanggung Pajak;
b) Dasar penagihan;
c) Besarnya utang pajak; dan
d) Perintah untuk membayar.
2. SURAT PAKSA DITERBITKAN APABILA:
1)
Penanggung
pajak tidak melunasi utang pajak dan telah diterbitkan Surat Teguran atau surat
peringatan atau surat lain yang sejenis.
2)
Terhadap
Penanggung Pajak telah dilaksanakan penagihan pajak seketika dan sekaligus,
atau
3)
Penanggung
Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan
persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak
3. PEMBERITAHUAN SURAT PAKSA
Surat Paksa diberitahukan oleh
Juru Sita Pajak dengan pernyataan dan penyerahan Salinan Surat Paksa kepada
Penanggung Pajak. Pemberitahuan ini dituangkan dalam Berita Acara yang
sekurang-kurangnya memuat hari dan tanggal pemberitahuan Surat Paksa, nama Juru
Sita Pajak, nama yang menerima, dan tempat pemberitahuan Surat Paksa.
4. SURAT PAKSA TERHADAP ORANG PRIBADI
DIBERITAHUKAN OLEH JURU SITA PAJAK KEPADA :
a) Penanggung Pajak di tempat tinggal, tempat
usaha atau di tempat lain yang memungkinkan;
b) Orang dewasa yang bertempat tinggal
bersama ataupun yang bekerja di tempat usaha Penanggung Pajak, apabila
Penanggung Pajak yang bersangkutan tidak dapat dijumpai;
c) Salah seorang ahli waris atau pelaksana
wasiat atau yang mengurus harta peninggalannya, apabila Wajib Pajak telah
meninggal dunia dan harta warisan belum dibagi; atau
d) Para ahli waris, apabila Wajib Pajak telah
meninggal dunia dan harta warisan telah dibagi.
5. SURAT PAKSA TERHADAP BADAN DIBERITAHUKAN OLEH
JURU SITA PAJAK KEPADA :
a) Pengurus, kepala perwakilan, kepala
cabang, penanggung jawab, pemilik modal, baik di tempat di tempat kedudukan
badan yang bersangkutan, di tempat tinggal mereka maupun di tempat lain yang
memungkinkan; atau
b) Pegawai tetap di tempat kedudukan atau
tempat usaha badan yang bersangkutan apabila Juru Sita Pajak tidak dapat
menjumpai salah seorang sebagaimana dimaksud pada huruf a.
D.
Penyitaan
Yang dapat menjadi objek sita
adalah barang milik Penanggung Pajak yang berada di tempat tinggal, tempat
usaha Penyitaan adalah tindakan Jurusita Pajak untuk
menguasai barang Penanggung Pajak, guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang
pajak menurut peraturan perundang-undangan.
OBJEK
SITA
Merupakan tempat kedudukan, atau di tempat lain, termasuk
yang penguasaannya berada di tangan pihak lain atau yang dijaminkan sebagai
pelunasan utang tertentu yang dapat berupa:
1) Barang bergerak termasuk mobil, perhiasan,
uang tunai dan deposito berjangka, tabungan, saldo rekening, giro, atau bentuk
lainnya yang dipersamakan dengan itu, obligasi saham atau surat berharga
lainnya, piutang, dan penyertaan modal pada perusahaan lain;
2)
Barang
tidak bergerak termasuk tanah, bangunan, kapal, dengan isi kotor tertentu.
Penyitaan terhadap Penanggung Pajak Badan dapat
dilaksanakan terhadap barang milik perusahaan, pengurus kepala perwakilan,
kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal, baik di tempat kedudukan yang
bersangkutan, di tempat tinggal mereka maupun di tempat lain.
( Pasal 14 ayat (1a) Undang-undang Nomor 19 TAHUN 2000)
BARANG-BARANG
YANG DIKECUALIKAN DARI PENYITAAN
1. pakaian dan tempat tidur beserta
perlengkapannya yang digunakan oleh Penanggung Pajak dan keluarga yang menjadi
tanggungannya;
2. persediaan makanan dan minuman untuk
keperluan satu bulan beserta peralatan memasak yang berada di rumah;
3. perlengkapan Penanggung Pajak yang
bersifat dinas yang diperoleh dari negara;
4. buku-buku yang bertalian dengan jabatan
atau pekerjaan Penanggung Pajak dan alat-alat yang dipergunakan untuk
pendidikan, kebudayaan dan keilmuan;
5. peralatan dalam keadaan jalan yang masih
digunakan untuk melaksanakan pekerjaan atau usaha sehari-hari dengan jumlah
seluruhnya tidak lebih dari Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah); atau
6.
peralatan penyandang cacat yang
digunakan oleh Penanggung Pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya.
( Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Nomor 19 TAHUN 2000)
PEMBLOKIRAN
Pemblokiran adalah tindakan pengamanan harta kekayaan milik Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank dengan tujuan agar terhadap harta kekayaan dimaksud tidak terdapat perubahan apapun, selain penambahan jumlah atau nilai.
(Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 563/KMK.04/2000)
E.
Pelelangan
Kepatuhan Penyedia Jasa terhadap perpajakan merupakan
salah satu persyaratan yang harus dipenuhi penyedia barang/jasa ketika ingin
mengikuti proses pelelangan pengadaan barang/jasa pemerintah. Dalam pasal 19
huruf k Perpres 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
disebutkan bahwa penyedia barang/jasa wajib memenuhi persyaratan sebagai wajib
pajak sudah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan telah memenuhi kewajiban
perpajakan tahun terakhir (SPT Tahunan) serta memiliki laporan bulanan PPh Psl
21, PPh psl 23 (bila ada transaksi), PPh psl 25/Psl 29 dan PPN (bagi pengusaha
kena pajak) paling kurang 3 (tiga) bulan terakhir dalam tahun
berjalan.Persyaratan pemenuhan kewajiban pajak tahun terakhir dengan
penyampaian SPT Tahunan dan SPT Masa dapat diganti oleh penyedia barang/jasa
dengan penyampaian Surat Keterangan Fiskal (SKF) yang dikeluarkan oleh Kantor
Pelayanan Pajak (KPP).
Dalam proses pelelangan, pemenuhan persyaratan perpajakan bisa kita
liat dalam formulir isian kualifikasi yang disampaikan oleh penyedia jasa.
Adalah tugas Unit Layanan Pengandaan (ULP)/panitia pengadaan barang/jasa dalam
hal melakukan evaluasi dan klarifikasi atas dokumen kualifikasi yang
disampaikan peserta. Pemahaman ULP/panitia pengadaan mengenai perpajakan yang
keliru dapat mengakibatkan permasalahan dalam proses evaluasi terhadap dokumen
kualifikasi. Sehingga berpotensi menimbulkan permasalahan yang dapat berakibat
merugikan penyedia barang/jasa dan bisa dijadikan materi sanggah.
Suatu contoh,
a. Panitia pengadaan
pada tanggal 4 April 2011 mengumumkan pelelangan pengadaan komputer dengan
jadwal batas pemasukan penawaran terakhir tanggal 14 April 2011.
b. Panitia pengadaan
mensyaratkan agar penyedia menyampaian SPT Tahun 2010 (SPT Tahunan), serta SPT
Masa PPh psl 21, 23, 25 dan PPN bulan Januari, Februari, dan Maret 2011.
Sekilas tidak ada yang janggal dari contoh kasus di atas. Panitia
sudah mencantumkan persyaratan sebagaimana Perpres 54 tahun 2010 pasal 19.
Sekarang kita analisa kejadian di atas.
Berdasarkan UU No 28 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU No
6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dalam pasal 3
angka (3) disebutkan bahwa batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan adalah :
1. Untuk SPT Masa, paling
lama 20 hari setelah akhir masa pajak;
2. Untuk SPT Tahunan PPh
WP orang pribadi, paling lama 3 bulan setelah akhir tahun pajak; atau
3. Untuk SPT Tahunan PPh
WP badan, paling lama 4 bulan setelah akhir tahun pajak.
Berdasarkan ketentuan di atas, penyedia jasa memiliki kesempatan
untuk menyampaikan SPT tahun 2010 ke KPP hingga akhir April 2011, dan
menyampaikan SPT Masa bulan Maret hingga tanggal 20 April 2011. Sehingga sampai
dengan batas waktu akhir pemasukan penawaran, dimungkinkan penyedia belum dapat
memenuhi ketentuan yang dipersyaratkan. Hal tersebut tidak dapat digugurkan.
Berdasarkan UU 10 No Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, UU No 28 tahun 2007 memiliki hirarki dan kekuatan hukum
yang lebih tinggi dibandingkan Perpres 54 tahun 2010. Dengan demikian ketentuan
yang dipersyaratkan panitia mengandung kekeliruan dan masuk ke dalam materi
sanggah sebagaimana diatur dalam pasal 81 (1) dan pasal 24 (3) d perpres 54
tahun 2010.
Panitia pengadaan seharusnya mensyaratkan penyampaian SPT Tahun 2009
dan SPT Masa bulan Desember 2010, Januari, Februari 2011. Namun bila ada
penyedia yang menyampaikan SPT Tahunan dan Masa lebih awal ke KPP sehingga
dapat menyampaikan SPT Tahun 2010 dan SPT Masa bulan Desember, Januari, dan
Februari 2012 maka hal tersebut adalah lebih baik, dan tidak dapat menggugurkan
penawaran.
F.
Hak Mendahului Pajak
Negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak
atas barang-barang milik Penanggung Pajak.
Ketentuan tentang hak mendahulu, meliputi pokok
pajak, bunga, dan denda administrasi, kenaikan dan biaya penagihan.
(Pasal
21 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 TAHUN 2007)
Negara mempunyai kedudukan sebagai kreditur preferen yang dinyatakan
mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik Penanggung Pajak yang akan
dilelang di muka umum.
Pembayaran kepada kreditur lain diselesaikan
setelah utang pajak dilunasi.
Hak mendahulu lebih kuat dari segala hak lainnya
kecuali terhadap :
o
Biaya
perkara yang semata-mata disebabkan karena suatu penghukuman untuk melelang
suatu barang bergerak maupun tidak bergerak.
o Biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan suatu barang
o Biaya perkara yang semata-mata disebabkan karena pelelangan dan
penyelesaian suatu warisan, biaya ini didahulukan daripada gadai dan hipotek.
(Pasal
21 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 TAHUN
2007)
G.
Penagihan Seketika dan Sekaligus
Penagihan seketika dan
sekaligus adalah tindakan penagihan pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak
kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang
meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis pajak, Masa Pajak, dan Tahun Pajak.
Juru Sita Pajak melaksanakan penagihan seketika
dan sekaligus apabila:
a. Penanggung Pajak akan meninggalkan
Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu;
b. Penanggung Pajak memindahtangankan barang
yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan
kegiatan perusahaan atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia;
c. terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung
Pajak akan membubarkan badan usaha atau menggabungkan atau memekarkan usaha,
atau memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau yang dikuasainya, atau
melakukan perubahan bentuk lainnya;
d. badan usaha akan dibubarkan oleh negara;
atau
e. terjadi penyitaan atas barang Penanggung
Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan.
Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus
sekurang-kurangnya memuat :
a. Nama Wajib Pajak, atau nama Wajib Pajak
dan Penanggung Pajak;
b. Besarnya utang pajak;
c. Perintah untuk membayar; dan
d. Saat pelunasan pajak.
Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus
diterbitkan oleh Pejabat :
a.
Sebelum tanggal jatuh tempo
pembayaran;
b.
Tanpa didahului Surat Teguran;
c.
Sebelum jangka waktu 21 (Dua
puluh satu) hari sejak Surat Teguran diterbitkan; atau
d. Sebelum penerbitan
Surat Paksa.
(Pasal 14 Peraturan Menteri
Keuangan nomor 24/PMK.03/2008)
H.
Pencegahan, Penyanderaan dan Gugatan
Pencegahan atau penyanderaan
terhadap Penanggung Pajak adalah salah satu upaya penagihan pajak. Untuk
menghindari kesewenang-wenangan pejabat, maka pelaksanaan pencegahan atau
penyanderaan diberikan persyaratan-persyaratan antara lain utang pajak
sekurang-kurangnya sebesar Rp. 100.000.000,- (Seratus juta rupiah) dan atau
dilakukan apabila terdapat dugaan kuat bahwa Penanggung Pajak diragukan itikad
baiknya untuk melunasi utang pajaknya (misalnya Penanggung Pajak menyembunyikan
uang atau barang yang merupakan objek sita, atau dalam hal Penanggung Pajak
ingin melarikan diri).
(Pasal 29 dan 33 Undang-Undang Republik
Indonesia 19 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa)
I. Tatacara Pencegahan dan Penyanderaan
a. Penyanderaan hanya dapat dilaksanakan
berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan yang diterbitkan oleh Pejabat setelah
mendapat izin tertulis dari Menteri atau Gubernur Kepala Daerah Tingkat I.
b. Keputusan Pencegahan tersebut harus memuat
sekurang-kurangnya :
i.
Identitas
Penanggung Pajak yang dikenakan pencegahan atau penyanderaan.
ii. Alasan untuk melakukan pencegahan atau
penyanderaan.
iii. Jangka waktu pencegahan atau penyanderaan.
c. Jangka waktu pencegahan paling lama 6
(enam) bulan dan dapat diperpanjang untuk selama-lamanya 6 (enam) bulan.
d. Penyanderaan tidak boleh dilaksanakan
dalam hal :
1. Penanggung Pajak sedang melakukan ibadah.
2. Penanggung Pajak sedang mengikuti sidang
resmi.
3. Penanggung Pajak sedang mengikuti
Pemilihan Umum.
(Pasal 29 dan 33 Undang-Undang Republik
Indonesia 19 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa)
II. Hak Penanggung Pajak yang disandera
Selama disandera penanggung pajak mempunyai hak :
a.
Melakukan
ibadah di tempat penyanderaan sesuai dengan agama dan kepercayaan
masing-masing.
b.
Memperoleh
pelayanan kesehatan yang layak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
c.
Mendapat
makanan yang layak termasuk menerima kiriman dari keluarga.
d.
Menyampaikan
keluhan tentang perilaku petugas.
e.
Memperoleh
bahan bacaan dan informasi lainnya atas biaya Penanggung Pajak yang disandera.
f.
Menerima
kunjungan dari :
o
Keluarga
dan sahabat
o
Dokter
pribadi atas biaya sendiri
o
Rohaniawan
(Pasal
9 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 218/PJ/2003)
III. Pelepasan Penanggung Pajak yang disandera
Sebelum jatuh tempo yang tercantum dalam Surat
Perintah Penyanderaan Penanggung Pajak dapat dilepas dalam hal :
a. Utang pajak dan biaya penagihan pajak
telah dibayar lunas;
b. Jangka waktu yang ditetapkan dalam Surat
Perintah Penyanderaan telah habis;
c. Berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
d. Berdasarkan pertimbangan tertentu dari
Menteri Keuangan.
(Pasal
14 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 218/PJ/2003)
Gugatan
Gugatan Wajib Pajak atau
Penanggung Pajak terhadap:
a. pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah
Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang;
b. keputusan pencegahan dalam rangka
penagihan pajak;
c. keputusan yang berkaitan dengan
pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat
(1) (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan;Surat Ketetapan Pajak Nihil;Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau
pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan
peraturan perundangundangan perpajakan) dan Pasal 26; atau
d. penerbitan surat ketetapan pajak atau
Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur
atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dan hanya dapat diajukan kepada badan
peradilan pajak.
(Pasal 23 ayat 2 Undang- Undang
Nomor 28 tahun 2007)
I.
Angsuran dan Penundaan Pembayaran
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan secara tertulis
kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat WajibPajak terdaftar untuk
mengangsur atau menunda pembayaran pajak yang masih harus dibayar, yang
selanjutnya dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini disebut utang pajak,
daIam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau mengalami keadaan di
luar kekuasaannya sehingga Wajib Pajak tidak akan mampu memenuhi kewajiban
pajakpada waktunya.
Sehubungan dengan adanya kemudahan Pemberian Angsuran dan Penundaan
Pembayaran Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak maka tanggal 24 September
2008 Dirjen Pajak telah mengeluarkan aturan yang baru yang mengatur tentang
Tata Cara Pemberian Angsuran dan Penundaan PembayaranPajak dengan Peraturan
Dirjen Pajak Nomor PER-38/PJ/2008.
Hal-hal yang diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-38/PJ/2008
adalah sebagai berikut:
Jatuh Tempo Pembayaran
Pajak yang masih harus dibayar dalam Surat Tagihan Pajak, Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan, dan Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan
Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang
harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak
tanggal diterbitkan.
Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat
Pernberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan harus dilunasi sebelum Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan tetapi tidak melebihi batas
waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan.
Permohonan untuk mengangsur
atau menunda pembayaran pajak
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan secara tertulis kepada
Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar untuk mengangsur
atau menunda pembayaran pajak yang masih harus dibayar, yang selanjutnya dalam
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini disebut utang pajak, daIam hal Wajib
Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau mengalami keadaan di luar
kekuasaannya sehingga Wajib Pajak tidak akan mampu memenuhi kewajiban pajak
pada waktunya.
Sanksi administrasi berupa
bunga sebesar 2%
Dalam hal Wajib Pajak disetujui untuk mengangsur atau menunda
pembayaran kecuali Surat Tagihan Pajak, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi
berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Urnurn dan Tata
Cara Perpajakan sebagaimana tetah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai
dengan pembayaran angsuran pelunasan, dengan ketentuan bagian dari bulan
dihitung penuh 1 (satu) bulan.
Tata Cara Permohonan
Permohonan Wajib Pajak untuk mengangsur atau menunda pembayaran,
harus diajukan secara tertulis paling lama 9 (sembilan) hari kerja sebelum
jatuh tempo pembayaran, disertai dengan alasan dan bukti yang mendukung
permohonan, serta:
a. jumlah pernbayaran pajak yang dimohon untuk diangsur, masa
angsuran, dan besarnya angsuran; atau
b. jumlah pembayaran pajak yang dirnohen untwk ditunda dan jangka
waktu penundaan.
Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilampaui
dalam hal Wajib Pajak mengalami keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak sehingga
Wajib Pajak tidak mampu rnelunasi utang pajak tepat pada waktunya.
Permohonan sebagaimana dirnaksud pada ayat (1) harus diajukan dengan
menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini.
Jaminan
Wajib Pajak yang mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 ayat (3) harus memberikan jaminan yang besarnya ditetapkan berdasarkan
pertimbangan Kepala Kantor Pelayanan Pajak, kecuali apabila Kepala Kantor
Pelayanan Pajak menganggap tidak perlu.
Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bererpa garansi
bank, surat dokumen bukti kepemilikan barang bergerak, penanggungan utang oleh
pihak ketiga, seltifikat tanah, atau sertifikat deposito.
Wajib Pajak yang mengajukan permohonan dalam jangka waktu yang
melampaui jangka waktu 9 (sembilan) hari kerja sebelum jatuh tempo pembayaran)
harus memberikan jaminan berupa garansi bank sebesar utang pajak yang dapat
dicairkan sesuai dengan jangka waktu pengangsuran atau penundaan.
Jangka Waktu Angsuran
Angsuran atas utang pajak sebagaimana dirnaksud dafarn Pasal 1 ayat
(3) dapat diberikan untuk:
1. paling lama 72 (dua
belas) bulan sejak diterbitkannya Surat Keputusan Persetujuan Angsuran
Pembayaran Pajak dengan angsuran paling banyak 1 (satu) kali dalam 1 (satu)
bulan, untuk permohonan angsuran atas
utang pajak berupa pajak yang masih harus dibayar atau
2. paling lama sampai
dengan bulan terakhir Tahun Pajak berikutnya, untuk permohonan angsuran atas
kekurangan pembayaran utang pajak berupa pajak yang terutang berdasarkan Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
dengan angsuran paling banyak 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan.
Jangka Waktu Penundaan
Penundaan atas utang pajak dapat diberikan untuk:
1. paling lama 12 (dua
belas) bulan sejak diterbitkannya Surat Keputusan Persetujuan Penundaan
Pembayaran Pajak, untuk permohonan penundaan atas utang pajak berupa pajak yang
masih harus dibayar ; atau
2. paling lama sampai
dengan bulan terakhir Tahun Pajak berikutnya, untuk permohonan penundaan atas
kekurangan utang pajak berupa pajak yang terutang berdasarkan Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Jangka Waktu Keputusan dari Kantor Pelayanan Pajak
Setelah mempertimbangkan alasan berikut bukti pendukung yang
diajukan oleh Wajib Pajak, Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas nama Direktur
Jenderal Pajak menerbitkan keputusan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja
setelah tanggal dlterimanya permohonan
Keputusan dapat berupa:
menyetujui jumlah angsuran pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya
penundaan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak;
menyetujui jumlah angsuran pajak danlatau masa angsuran atau lamanya
penundaan sesuai dengan pertimbangan Kepala Kantor Pelayanan Pajak; atau menolak
permohonan Wajib Pajak.
Apabila jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja telah terlampaui dan
Kepala Kantor Pelayanan Pajak tidak menerbitkan suatu keputusan, permohonan
disetvjui sesuai dengan permohonan Wajib Pajak, dan Surat Keputusan Persetujuan
Angsuran Pembayaran Pajak atau Surat Keputusan Persetujuan Penundaan Pembayaran
Pajak harus diterbitkan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah jangka waktu 7
(tujuh) hari kerja tersebut berakhir.
I. Penghapusan Piutang Pajak
Piutang pajak yang dihapuskan
adalah piutang pajak yang jumlahnya masih harus ditagih sebagaimana tercantum
dalam STP, SKPKB, SKPKBT, yang meliputi pokok pajak kenaikan bunga dan atau
denda.
Syarat-syarat piutang pajak yang dihapuskan adalah:
o
Piutang
tersebut tercantum dalam SPPT, STP, SKP, SKPT, SKPKB, SKPKBT
o
Wajib
Pajak dan/atau Penanggung Pajak tidak dapat ditemukan atau meninggal dunia
dengan tidak meninggalkan harta warisan dan tidak mempunyai ahli waris, atau
ahli waris tidak dapat ditemukan;
o
Wajib
Pajak dan/atau Penanggung Pajak tidak mempunyai harta kekayaan lagi;
o
penagihan
pajak secara aktif telah dilaksanakan dengan penyampaian salinan Surat Paksa
kepada penanggung Pajak melalui Pemerintah Daerah setempat;
o
hak
untuk melakukan penagihan pajak sudah daluwarsa; atau
o
sebab
lain sesuai hasil penelitian.
(Pasal 1 ayat (1) dan (2) Keputusan Menteri Keuangan Republik
Indonesia
Nomor 539/KMK.03/2002)
Nomor 539/KMK.03/2002)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment