Monday, April 15, 2013

PENAGIHAN PAJAK


 A.       Dasar Penagihan Pajak

Dasar hukum penagihan pajak terdapat di dalam Pasal 18 ayat (1) Undang- Undang No. 28 tahun 2007 tentang perubahan ke tiga Undang-Undang No. 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang  menyatakan “Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat  Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat  Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang  menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, merupakan dasar  penagihan pajak.”
(Pasal 18 ayat (1) Undang- Undang No. 28 tahun 2007)



 Tahapan Penagihan Pajak

1.      Surat Teguran

Apabila utang pajak yang tercantum dalam Surat Tagihan Pajak, Surat  Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, tidak dilunasi sampai melewati 7 hari batas waktu jatuh tempo (satu bulan sejak tanggal diterbitkannya).
(Pasal 9 ayat (4) Peraturan Menteri Keuangan nomor 24/PMK.03/2008)

2.      Surat Paksa
Apabila utang pajak tidak dilunasi setelah 21 hari dari tanggal surat teguran, maka akan diterbitkan Surat Paksa yang disampaikan oleh Juru Sita Pajak Negara dengan dibebani biaya penagihan paksa sebesar Rp. 50.000,- (Lima puluh ribu rupiah), utang pajak harus dilunasi dalam waktu 2 x 24 jam.
(Pasal 12  Peraturan Menteri Keuangan nomor 24/PMK.03/2008)

3.       Penyitaan

Apabila utang pajak belum juga dilunasi dalam waktu 2 x 24 jam dapat dilakukan tindakan penyitaan atas barang-barang WP, dengan dibebani biaya pelaksanaan sita sebesar Rp. 100.000,- (Seratus ribu rupiah).
(Pasal 24 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan nomor 24/PMK.03/2008)

4.       Pelelangan

Dalam jangka waktu paling singkat empat belas hari setelah penyitaan, utang pajak belum dilunasi maka akan dilanjutkan dengan pengumuman lelang melalui media massa.
(Pasal 26  Peraturan Menteri Keuangan nomor 24/PMK.03/2008)

Apabila setelah lewat waktu 14 (empat belas) hari sejak Pengumuman Lelang, Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan biaya Penagihan Pajak, Pejabat melakukan penjualan barang sitaan Penanggung Pajak melalui kantor lelang negara.
(Pasal 28  Peraturan Menteri Keuangan nomor 24/PMK.03/2008)

Dalam hal biaya penagihan paksa dan biaya pelaksanaan sita belum dibayar maka akan dibebankan bersama-sama dengan biaya iklan untuk pengumuman lelang dalam surat kabar dan biaya lelang pada saat pelelangan
Catatan:

Melihat uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa waktu penagihan pajak dari saat tanggal jatuh tempo pelunasan pajak sampai dengan pelaksanaan lelang dilakukan selama 58 hari (7 hari surat teguran + 21 hari Surat Paksa +2 hari Surat Sita +14 hari pengumuman lelang). Tetapi karena kondisi daerah Indonesia yang sangat berbeda (tempat,dan jarak), maka Kepala Kantor Wilayah Direktur Jenderal Pajak diberi wewenang untuk menetapkan jadwal waktu penagihan pajak.

B.        Surat Teguran
Penyampaian surat teguran merupakan awal pelaksanaan tindakan penagihan oleh fiskus untuk memperingatkan Wajib Pajak yang tidak melunasi utang pajaknya sesuai dengan keputusan penetapan (STP, SKPKB, SKPKBT) sampai dengan saat jatuh tempo. Surat teguran adalah surat yang diterbitkan oleh pejabat untuk menegur atau memperingatkan Wajib Pajak untuk melunasi utang pajaknya. Surat teguran dikeluarkan apabila utang pajak yang tercantum dalam SPT, SKPKB atau SKPKBT tidak dilunasi sampai melewati waktu hari dari batas waktu jatuh tempo 1 bulan sejak tanggal diterbitkannya.
Diterbitkannya surat teguran, karena:
a. Dalam hal WP tidak menyetujui sebagian atau seluruhnya jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dan WP tidak mengajukan keberatan atas SKPKB atau SKPKBT, kepada WP disampaikan Surat Teguran setelah lewat 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pengajuan keberatan;
b. Dalam hal WP tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, dan WP mengajukan permohonan banding atas keputusan keberatan sehubungan dengan SKPKB atau SKPKBT, kepada WP disampaikan Surat teguran setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pengajuan banding;
c. Dalam hal WP tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, dan mengajukan permohonan banding atas keputusan keberatan sehubungan dengan SKPKB atau SKPKBT, kepada WP disampaikan Surat teguran setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pelunasan pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Putusan Banding;
d. Dalam hal WP menyetujui seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, kepada WP disampaikan Surat Teguran setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pelunasan;
e. Dalam hal WP mencabut pengajuan keberatan atas SKPKB atau SKPKBT setelah tanggal jatuh tempo pelunasan tetapi sebelum tanggal diterima Surat Pemberitahuan Untuk Hadir oleh WP, kepada WP disampaikan Surat Teguran setelah 7 (tujuh) hari sejak tanggal pencabutan pengajuan keberatan tersebut; dan
f. Dalam rangka Penagihan Pajak atas utang Bumi dan Bangunan dan/atau Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan yang tercantum dalam STPPBB, SKBKB, SKBKBT, STB atau Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, atau Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, kepada WP disampaikan Surat teguran setelah 7 (tujuh) hari sejak tanggal jatuh tempo pelunasan. Penyampaian Surat Teguran dapat dilakukan secara langsung, melalui pos atau melalui jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.
Tata Cara Penerbitan Surat Teguran
Penerbitan Surat Teguran dilakukan pada Seksi Penagihan, dengan prosedur
sebagai berikut:
1.         Pelaksana pada Seksi Penagihan meneliti Surat Ketetapan Pajak (SKP)/Surat Tagihan Pajak (STP)/ Surat Tagihan Bea (STB) yang harus diterbitkan Surat Teguran dalam Sistem Administrasi Perpajakan dan meminta persetujuan Kepala Seksi dan kemudian diteruskan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak melalui Sistem Informasi DJP;
2.         Kepala Kantor Pelayanan Pajak memeriksa usulan penerbitan Surat Teguran danmemberikan persetujuan penerbitan melalui Sistem Informasi DJP;
3.         Pelaksana melihat Sistem Informasi DJP dan memeriksa persetujuan penerbitanSurat Teguran dari Kepala Kantor Pelayanan Pajak, mencetak Surat Teguran dan menyampaikannya kepada Kepala Seksi Penagihan;
4.         Kepala Seksi Penagihan meneliti, memaraf Surat Teguran, dan menugaskan kepada Pelaksana untuk menyampaikannya kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak;
5.         Kepala kantor Pelayanan Pajak meneliti, menandatangani Surat Teguran, dan meneruskan kepada pelaksana untuk disampaikan kepada Wajib Pajak;
6.         Pelaksana meneliti Surat Teguran yang telah ditandatangani Kepala KantorPelayanan Pajak, menatausahakan, dan menyampaikannya kepada Wajib Pajak melalui Subbag Umum.

C.       Surat Paksa

Surat Paksa berkepala kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan grosse akte yaitu putusan pengadilan perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
( Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 19 TAHUN 2000)

1. SURAT PAKSA SEKURANG-KURANGNYA HARUS MEMUAT :

a)      Nama Wajib Pajak, atau nama Wajib Pajak dan Penanggung Pajak;
b)      Dasar penagihan;
c)      Besarnya utang pajak; dan
d)     Perintah untuk membayar.
( Pasal 7 ayat (2) Undang-undang Nomor 19 TAHUN 2000)

2. SURAT PAKSA DITERBITKAN APABILA:

1)     Penanggung pajak tidak melunasi utang pajak dan telah diterbitkan Surat Teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis.
2)     Terhadap Penanggung Pajak telah dilaksanakan penagihan pajak seketika dan sekaligus, atau
3)      Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak
( Pasal 8 ayat (1) Undang-undang Nomor 19 TAHUN 2000)


3. PEMBERITAHUAN SURAT PAKSA

Surat Paksa diberitahukan oleh Juru Sita Pajak dengan pernyataan dan penyerahan Salinan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak. Pemberitahuan ini dituangkan dalam Berita Acara yang sekurang-kurangnya memuat hari dan tanggal pemberitahuan Surat Paksa, nama Juru Sita Pajak, nama yang menerima, dan tempat pemberitahuan Surat Paksa.
( Pasal 10 ayat  (1) dan ayat  (2) Undang-undang Nomor 19 TAHUN 2000)

4. SURAT PAKSA TERHADAP ORANG PRIBADI DIBERITAHUKAN OLEH JURU SITA PAJAK KEPADA :

a)      Penanggung Pajak di tempat tinggal, tempat usaha atau di tempat lain yang memungkinkan;
b)      Orang dewasa yang bertempat tinggal bersama ataupun yang bekerja di tempat usaha Penanggung Pajak, apabila Penanggung Pajak yang bersangkutan tidak dapat dijumpai;
c)      Salah seorang ahli waris atau pelaksana wasiat atau yang mengurus harta peninggalannya, apabila Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta warisan belum dibagi; atau
d)     Para ahli waris, apabila Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta warisan telah dibagi.
( Pasal 10 ayat  (3) Undang-undang Nomor 19 TAHUN 2000)






5. SURAT PAKSA TERHADAP BADAN DIBERITAHUKAN OLEH JURU SITA PAJAK KEPADA :

a)      Pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal, baik di tempat di tempat kedudukan badan yang bersangkutan, di tempat tinggal mereka maupun di tempat lain yang memungkinkan; atau
b)      Pegawai tetap di tempat kedudukan atau tempat usaha badan yang bersangkutan apabila Juru Sita Pajak tidak dapat menjumpai salah seorang sebagaimana dimaksud pada huruf a.
( Pasal 10 ayat  (4) Undang-undang Nomor 19 TAHUN 2000)

D.       Penyitaan
Yang dapat menjadi objek sita adalah barang milik Penanggung Pajak yang berada di tempat tinggal, tempat usaha Penyitaan adalah tindakan Jurusita Pajak untuk menguasai barang Penanggung Pajak, guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak menurut peraturan perundang-undangan.
( Undang-undang Nomor 19 TAHUN 2000)

Dasar pelaksanaan penyitaan adalah Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan

OBJEK SITA
Merupakan tempat kedudukan, atau di tempat lain, termasuk yang penguasaannya berada di tangan pihak lain atau yang dijaminkan sebagai pelunasan utang tertentu yang dapat berupa:
1)     Barang bergerak termasuk mobil, perhiasan, uang tunai dan deposito berjangka, tabungan, saldo rekening, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, obligasi saham atau surat berharga lainnya, piutang, dan penyertaan modal pada perusahaan lain;
2)     Barang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan, kapal, dengan isi kotor tertentu.
( Pasal 14 ayat (1) Undang-undang Nomor 19 TAHUN 2000)

Penyitaan terhadap Penanggung Pajak Badan dapat dilaksanakan terhadap barang milik perusahaan, pengurus kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal, baik di tempat kedudukan yang bersangkutan, di tempat tinggal mereka maupun di tempat lain.
( Pasal 14 ayat (1a) Undang-undang Nomor 19 TAHUN 2000)

BARANG-BARANG YANG DIKECUALIKAN DARI PENYITAAN

1.      pakaian dan tempat tidur beserta perlengkapannya yang digunakan oleh Penanggung Pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya;
2.      persediaan makanan dan minuman untuk keperluan satu bulan beserta peralatan memasak yang berada di rumah;
3.      perlengkapan Penanggung Pajak yang bersifat dinas yang diperoleh dari negara;
4.      buku-buku yang bertalian dengan jabatan atau pekerjaan Penanggung Pajak dan alat-alat yang dipergunakan untuk pendidikan, kebudayaan dan keilmuan;
5.      peralatan dalam keadaan jalan yang masih digunakan untuk melaksanakan pekerjaan atau usaha sehari-hari dengan jumlah seluruhnya tidak lebih dari Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah); atau
6.      peralatan penyandang cacat yang digunakan oleh Penanggung Pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya.
( Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Nomor 19 TAHUN 2000)

PEMBLOKIRAN

Pemblokiran adalah tindakan pengamanan harta kekayaan milik Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank dengan tujuan agar terhadap harta kekayaan dimaksud tidak terdapat perubahan apapun, selain penambahan jumlah atau nilai.
(Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 563/KMK.04/2000)

E.        Pelelangan
Kepatuhan Penyedia Jasa terhadap perpajakan merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi penyedia barang/jasa ketika ingin mengikuti proses pelelangan pengadaan barang/jasa pemerintah. Dalam pasal 19 huruf k Perpres 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah disebutkan bahwa penyedia barang/jasa wajib memenuhi persyaratan sebagai wajib pajak sudah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan telah memenuhi kewajiban perpajakan tahun terakhir (SPT Tahunan) serta memiliki laporan bulanan PPh Psl 21, PPh psl 23 (bila ada transaksi), PPh psl 25/Psl 29 dan PPN (bagi pengusaha kena pajak) paling kurang 3 (tiga) bulan terakhir dalam tahun berjalan.Persyaratan pemenuhan kewajiban pajak tahun terakhir dengan penyampaian SPT Tahunan dan SPT Masa dapat diganti oleh penyedia barang/jasa dengan penyampaian Surat Keterangan Fiskal (SKF) yang dikeluarkan oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP).
Dalam proses pelelangan, pemenuhan persyaratan perpajakan bisa kita liat dalam formulir isian kualifikasi yang disampaikan oleh penyedia jasa. Adalah tugas Unit Layanan Pengandaan (ULP)/panitia pengadaan barang/jasa dalam hal melakukan evaluasi dan klarifikasi atas dokumen kualifikasi yang disampaikan peserta. Pemahaman ULP/panitia pengadaan mengenai perpajakan yang keliru dapat mengakibatkan permasalahan dalam proses evaluasi terhadap dokumen kualifikasi. Sehingga berpotensi menimbulkan permasalahan yang dapat berakibat merugikan penyedia barang/jasa dan bisa dijadikan materi sanggah.
Suatu contoh,
a.         Panitia pengadaan pada tanggal 4 April 2011 mengumumkan pelelangan pengadaan komputer dengan jadwal batas pemasukan penawaran terakhir tanggal 14 April 2011.
b.         Panitia pengadaan mensyaratkan agar penyedia menyampaian SPT Tahun 2010 (SPT Tahunan), serta SPT Masa PPh psl 21, 23, 25 dan PPN bulan Januari, Februari, dan Maret 2011.

Sekilas tidak ada yang janggal dari contoh kasus di atas. Panitia sudah mencantumkan persyaratan sebagaimana Perpres 54 tahun 2010 pasal 19. Sekarang kita analisa kejadian di atas.
Berdasarkan UU No 28 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU No 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dalam pasal 3 angka (3) disebutkan bahwa batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan adalah :
1.    Untuk SPT Masa, paling lama 20 hari setelah akhir masa pajak;
2.     Untuk SPT Tahunan PPh WP orang pribadi, paling lama 3 bulan setelah akhir tahun pajak; atau
3.     Untuk SPT Tahunan PPh WP badan, paling lama 4 bulan setelah akhir tahun pajak.
Berdasarkan ketentuan di atas, penyedia jasa memiliki kesempatan untuk menyampaikan SPT tahun 2010 ke KPP hingga akhir April 2011, dan menyampaikan SPT Masa bulan Maret hingga tanggal 20 April 2011. Sehingga sampai dengan batas waktu akhir pemasukan penawaran, dimungkinkan penyedia belum dapat memenuhi ketentuan yang dipersyaratkan. Hal tersebut tidak dapat digugurkan.
Berdasarkan UU 10 No Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UU No 28 tahun 2007 memiliki hirarki dan kekuatan hukum yang lebih tinggi dibandingkan Perpres 54 tahun 2010. Dengan demikian ketentuan yang dipersyaratkan panitia mengandung kekeliruan dan masuk ke dalam materi sanggah sebagaimana diatur dalam pasal 81 (1) dan pasal 24 (3) d perpres 54 tahun 2010.
Panitia pengadaan seharusnya mensyaratkan penyampaian SPT Tahun 2009 dan SPT Masa bulan Desember 2010, Januari, Februari 2011. Namun bila ada penyedia yang menyampaikan SPT Tahunan dan Masa lebih awal ke KPP sehingga dapat menyampaikan SPT Tahun 2010 dan SPT Masa bulan Desember, Januari, dan Februari 2012 maka hal tersebut adalah lebih baik, dan tidak dapat menggugurkan penawaran.

F.        Hak Mendahului Pajak

Negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik Penanggung Pajak.
Ketentuan tentang hak mendahulu, meliputi pokok pajak, bunga, dan denda administrasi, kenaikan dan biaya penagihan.
(Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 TAHUN 2007)

Negara mempunyai kedudukan sebagai kreditur preferen yang dinyatakan mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik Penanggung Pajak yang akan dilelang di muka umum.
Pembayaran kepada kreditur lain diselesaikan setelah utang pajak dilunasi.

Hak mendahulu lebih kuat dari segala hak lainnya kecuali terhadap :

o  Biaya perkara yang semata-mata disebabkan karena suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak maupun tidak bergerak.
o  Biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan suatu barang
o  Biaya perkara yang semata-mata disebabkan karena pelelangan dan penyelesaian suatu warisan, biaya ini didahulukan daripada gadai dan hipotek.
(Pasal 21 ayat (3)  Undang-Undang Nomor 28 TAHUN 2007)

G.       Penagihan Seketika dan Sekaligus

Penagihan seketika dan sekaligus adalah tindakan penagihan pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis pajak, Masa Pajak, dan Tahun Pajak.
(Undang-Undang Nomor 19 TAHUN 2000)

Juru Sita Pajak melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus apabila:

a.       Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu;
b.       Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia;
c.       terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usaha atau menggabungkan atau memekarkan usaha, atau memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau yang dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk lainnya;
d.      badan usaha akan dibubarkan oleh negara; atau
e.       terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan.
(Pasal 20 Undang-Undang Nomor 28 ayat (2) TAHUN 2007)

Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus sekurang-kurangnya memuat :

a.       Nama Wajib Pajak, atau nama Wajib Pajak dan Penanggung Pajak;
b.      Besarnya utang pajak;
c.       Perintah untuk membayar; dan
d.      Saat pelunasan pajak.
(Pasal (6) Undang-undang Nomor 19 TAHUN 2000)

Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus diterbitkan oleh Pejabat :

a.       Sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran;
b.      Tanpa didahului Surat Teguran;
c.       Sebelum jangka waktu 21 (Dua puluh satu) hari sejak Surat Teguran diterbitkan; atau
d.      Sebelum penerbitan Surat Paksa.
(Pasal 14  Peraturan Menteri Keuangan nomor 24/PMK.03/2008)


H.       Pencegahan, Penyanderaan dan Gugatan

Pencegahan atau penyanderaan terhadap Penanggung Pajak adalah salah satu upaya penagihan pajak. Untuk menghindari kesewenang-wenangan pejabat, maka pelaksanaan pencegahan atau penyanderaan diberikan persyaratan-persyaratan antara lain utang pajak sekurang-kurangnya sebesar Rp. 100.000.000,- (Seratus juta rupiah) dan atau dilakukan apabila terdapat dugaan kuat bahwa Penanggung Pajak diragukan itikad baiknya untuk melunasi utang pajaknya (misalnya Penanggung Pajak menyembunyikan uang atau barang yang merupakan objek sita, atau dalam hal Penanggung Pajak ingin melarikan diri).
(Pasal 29 dan 33 Undang-Undang Republik Indonesia 19 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa)

I.       Tatacara Pencegahan dan Penyanderaan

a.       Penyanderaan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan yang diterbitkan oleh Pejabat setelah mendapat izin tertulis dari Menteri atau Gubernur Kepala Daerah Tingkat I.
b.      Keputusan Pencegahan tersebut harus memuat sekurang-kurangnya :
i.         Identitas Penanggung Pajak yang dikenakan pencegahan atau penyanderaan.
ii.       Alasan untuk melakukan pencegahan atau penyanderaan.
iii.     Jangka waktu pencegahan atau penyanderaan.
c.       Jangka waktu pencegahan paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang untuk selama-lamanya 6 (enam) bulan.
d.      Penyanderaan tidak boleh dilaksanakan dalam hal :
1.      Penanggung Pajak sedang melakukan ibadah.
2.      Penanggung Pajak sedang mengikuti sidang resmi.
3.      Penanggung Pajak sedang mengikuti Pemilihan Umum.
(Pasal 29 dan 33 Undang-Undang Republik Indonesia 19 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa)

II.    Hak Penanggung Pajak yang disandera

Selama disandera penanggung pajak mempunyai hak :

a.            Melakukan ibadah di tempat penyanderaan sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.
b.           Memperoleh pelayanan kesehatan yang layak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
c.            Mendapat makanan yang layak termasuk menerima kiriman dari keluarga.
d.           Menyampaikan keluhan tentang perilaku petugas.
e.            Memperoleh bahan bacaan dan informasi lainnya atas biaya Penanggung Pajak yang disandera.
f.            Menerima kunjungan dari :
o   Keluarga dan sahabat
o   Dokter pribadi atas biaya sendiri
o   Rohaniawan
(Pasal 9 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 218/PJ/2003)

III. Pelepasan Penanggung Pajak yang disandera

Sebelum jatuh tempo yang tercantum dalam Surat Perintah Penyanderaan Penanggung Pajak dapat dilepas dalam hal :

a.      Utang pajak dan biaya penagihan pajak telah dibayar lunas;
b.      Jangka waktu yang ditetapkan dalam Surat Perintah Penyanderaan telah habis;
c.      Berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
d.     Berdasarkan pertimbangan tertentu dari Menteri Keuangan.
(Pasal 14 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 218/PJ/2003)
Gugatan       
Gugatan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap:
a.       pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang;
b.      keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak;
c.       keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;Surat Ketetapan Pajak Nihil;Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan) dan Pasal 26; atau
d.      penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dan hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak.
(Pasal 23 ayat 2 Undang- Undang Nomor 28 tahun 2007)


I.          Angsuran dan Penundaan Pembayaran
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat WajibPajak terdaftar untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak yang masih harus dibayar, yang selanjutnya dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini disebut utang pajak, daIam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau mengalami keadaan di luar kekuasaannya sehingga Wajib Pajak tidak akan mampu memenuhi kewajiban pajakpada waktunya.
Sehubungan dengan adanya kemudahan Pemberian Angsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak maka tanggal 24 September 2008 Dirjen Pajak telah mengeluarkan aturan yang baru yang mengatur tentang Tata Cara Pemberian Angsuran dan Penundaan PembayaranPajak dengan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-38/PJ/2008.
Hal-hal yang diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-38/PJ/2008 adalah sebagai berikut:
Jatuh Tempo Pembayaran
Pajak yang masih harus dibayar dalam Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.
Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pernberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan harus dilunasi sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan tetapi tidak melebihi batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan.
Permohonan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak yang masih harus dibayar, yang selanjutnya dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini disebut utang pajak, daIam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau mengalami keadaan di luar kekuasaannya sehingga Wajib Pajak tidak akan mampu memenuhi kewajiban pajak pada waktunya.
Sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2%
Dalam hal Wajib Pajak disetujui untuk mengangsur atau menunda pembayaran kecuali Surat Tagihan Pajak, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Urnurn dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana tetah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan pembayaran angsuran pelunasan, dengan ketentuan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
Tata Cara Permohonan
Permohonan Wajib Pajak untuk mengangsur atau menunda pembayaran, harus diajukan secara tertulis paling lama 9 (sembilan) hari kerja sebelum jatuh tempo pembayaran, disertai dengan alasan dan bukti yang mendukung permohonan, serta:
a. jumlah pernbayaran pajak yang dimohon untuk diangsur, masa angsuran, dan besarnya angsuran; atau
b. jumlah pembayaran pajak yang dirnohen untwk ditunda dan jangka waktu penundaan.
Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilampaui dalam hal Wajib Pajak mengalami keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak sehingga Wajib Pajak tidak mampu rnelunasi utang pajak tepat pada waktunya.
Permohonan sebagaimana dirnaksud pada ayat (1) harus diajukan dengan menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Jaminan
Wajib Pajak yang mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) harus memberikan jaminan yang besarnya ditetapkan berdasarkan pertimbangan Kepala Kantor Pelayanan Pajak, kecuali apabila Kepala Kantor Pelayanan Pajak menganggap tidak perlu.
Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bererpa garansi bank, surat dokumen bukti kepemilikan barang bergerak, penanggungan utang oleh pihak ketiga, seltifikat tanah, atau sertifikat deposito.
Wajib Pajak yang mengajukan permohonan dalam jangka waktu yang melampaui jangka waktu 9 (sembilan) hari kerja sebelum jatuh tempo pembayaran) harus memberikan jaminan berupa garansi bank sebesar utang pajak yang dapat dicairkan sesuai dengan jangka waktu pengangsuran atau penundaan.
Jangka Waktu Angsuran
Angsuran atas utang pajak sebagaimana dirnaksud dafarn Pasal 1 ayat (3) dapat diberikan untuk:
1.         paling lama 72 (dua belas) bulan sejak diterbitkannya Surat Keputusan Persetujuan Angsuran Pembayaran Pajak dengan angsuran paling banyak 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan, untuk permohonan angsuran atas  utang pajak berupa pajak yang masih harus dibayar atau
2.         paling lama sampai dengan bulan terakhir Tahun Pajak berikutnya, untuk permohonan angsuran atas kekurangan pembayaran utang pajak berupa pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan  dengan angsuran paling banyak 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan.
Jangka Waktu Penundaan
Penundaan atas utang pajak dapat diberikan untuk:
1.         paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diterbitkannya Surat Keputusan Persetujuan Penundaan Pembayaran Pajak, untuk permohonan penundaan atas utang pajak berupa pajak yang masih harus dibayar ; atau
2.         paling lama sampai dengan bulan terakhir Tahun Pajak berikutnya, untuk permohonan penundaan atas kekurangan utang pajak berupa pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Jangka Waktu Keputusan dari Kantor Pelayanan Pajak
Setelah mempertimbangkan alasan berikut bukti pendukung yang diajukan oleh Wajib Pajak, Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal dlterimanya permohonan
Keputusan  dapat berupa:
menyetujui jumlah angsuran pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak;
menyetujui jumlah angsuran pajak danlatau masa angsuran atau lamanya penundaan sesuai dengan pertimbangan Kepala Kantor Pelayanan Pajak; atau menolak permohonan Wajib Pajak.
Apabila jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja telah terlampaui dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak tidak menerbitkan suatu keputusan, permohonan disetvjui sesuai dengan permohonan Wajib Pajak, dan Surat Keputusan Persetujuan Angsuran Pembayaran Pajak atau Surat Keputusan Persetujuan Penundaan Pembayaran Pajak harus diterbitkan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja tersebut berakhir.

I.          Penghapusan Piutang Pajak

Piutang pajak yang dihapuskan adalah piutang pajak yang jumlahnya masih harus ditagih sebagaimana tercantum dalam STP, SKPKB, SKPKBT, yang meliputi pokok pajak kenaikan bunga dan atau denda.

Syarat-syarat piutang pajak yang dihapuskan adalah:
o    Piutang tersebut tercantum dalam SPPT, STP, SKP, SKPT, SKPKB, SKPKBT
o    Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak tidak dapat ditemukan atau meninggal dunia dengan tidak meninggalkan harta warisan dan tidak mempunyai ahli waris, atau ahli waris tidak dapat ditemukan;
o    Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak tidak mempunyai harta kekayaan lagi;
o    penagihan pajak secara aktif telah dilaksanakan dengan penyampaian salinan Surat Paksa kepada penanggung Pajak melalui Pemerintah Daerah setempat;
o    hak untuk melakukan penagihan pajak sudah daluwarsa; atau
o    sebab lain sesuai hasil penelitian.
(Pasal 1 ayat (1) dan (2) Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia
Nomor 539/KMK.03/2002)



0 comments:

Post a Comment