Wednesday, May 29, 2013
11.1 Pengertian Hukum Pajak Internasional
Perkembangan
yang terjadi sampai saat ini menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan
hubungan antar masyarakat bangsa dari berbagai penjuru dunia, sehingga
batas-batas negara pun menjadi semakin pudar. Hal tersebut antara lain
ditenggarai oleh adanya hubungan kerjasama antar berbagai negara yang tergabung
dalam kelompok-kelompok kecil seperti ASEAN, OPEC, APEC, dan lain sebagainya.
Keadaan ini yang kemudian menghantarkan pada kenyataan seakan-akan di dunia ini
tidak ada batasan-batasan yang menunjukkan negara bangsa, melainkan lebih pada
grup-grup dimana suatu negara tergabung di dalamnya. Inilah yang oleh Kenichi
Ohmae disebut dengan the borderless world.
Sekalipun
hubungan kerjasama antar negara demikian luasnya, perlu dipahami bahwa setiap
negara memiliki kedaulatan terhadap teritorialnya dan sekaligus kebebasan dalam
menentukan segala sesuatu yang berkaitan dengan negara yang bersangkutan.
Sehingga batas-batas tertentu dalam bekerjasama harus diatur dalam wujud
kesepakatan, traktat maupun konvensi. Tentang hal ini, telah tercakup dalam
hukum antar negara atau yang sekarang ini dikenal dengan hukum internasional.
Maka
tidak dapat disangkal lagi bahwa kepentingan bersama bangsa-bangsa tersebut
menghendaki secara mutlak adanya sopan santun dalam pergaulan antar negara yang
berupa peraturan-peraturan hukum. Dan dalam sopan santun tersebut termasuk juga
dalam pelaksanaan tugas negara sebagai pemungut pajak. Untuk itu dilakukan
suatu upaya yang memungkinkan adanya kerjasama dalam bidang pajak. Dengan
demikian, dalam tubuh hukum internasional termasuk pula hukum pajak
internasional.
Pengertian
hukum pajak internasional dapat dibagi menjadi tiga bagian dari pendapat ahli
hukum pajak, yaitu:
1. Menurut
pendapat Prof. Dr. Rochmat Soemitro, bahwa hukum pajak internasional adalah
hukum pajak nasional yang terdiri atas kaedah, baik berupa kaedah-kaedah
nasional maupun kaedah yang berasal dari traktat antar negara dan dari prinsif
atau kebiasaan yang telah diterima baik oleh negera-negara di dunia, untuk
mengatur soal-soal perpajakan dan di mana dapat ditunjukkan adanya unsur-unsur
asing.
2. Menurut
pendapat Prof. Dr. P.J.A. Adriani, hukum pajak internasional adalah suatu
kesatuan hukum yang mengupas suatu persoalan yang diatur dalam UU Nasional
mengenai pemajakan terhadap orang-orang luar negeri, peraturan-peraturan
nasional untuk menghindarkan pajak ganda dan traktat-traktat.
3. Sedangkan
menurut pendapat Prof. Mr. H.J. Hofstra, hukum pajak internasional sebenarnya
merupakan hukum pajak nasional yang di dalamnya mengacu pengenaan terhadap
orang asing.
11.2 Kedaulatan Hukum Pajak Internasional Indonesia
Dalam
hukum antarnegara terdapat suatu asas mengenai kedaulatan negara yang
dinyatakan sebagai kedaulatan setiap negara untuk dengan bebas mengatur
kepentingan-kepentingan rumah tangganya sendiri-sendiri, dalam batas-batas yang
ditentukan oleh hukum antar negara, dan bebas dari pengaruh negara-negara lain.
Sesuai
dengan azas yang telah disebutkan diatas, maka kedaulatan pemajakan sebagai
spesies dari gensi kedaulatan negara dapat dinyatakan sebagai kedaulatan suatu
negara untuk bertindak merdeka dalam lapangan pajak. Kekuasaan tersebut terdiri
atas :
1.
Kekuasaan untuk membuat undang-undang
nasional.
2.
Kekuasaan untuk melaksanakan peraturan yang
telah dibuat. Yaitu untuk menetapkan pajak sesuai dengan tatbestand yang
berakibat timbulnya utang pajak dari yang bersangkutan, lengkap dengan
tindakan-tindakan paksaannya yang termasuk dalam kekuasaan eksekusi.
Hukum
Pajak Internasional Indonesia secara umum dapat dikatakan barlaku terbatas
hanya pada subjeknya dan objeknya yang berada di wilayah Indonesia saja. Dengan
kata lain terhadap orang atau badan yang tidak bertempat tinggal atau
berkedudukan di Indonesia pada dasarnya tidak akan dikenakan pajak berdasarkan
UU Indonesia. Namun demikian, Hukum Pajak Internasional dapat berkaitan dengan
subjek maupun objek yang berada di luar wilayah Indonesia sepanjang ada
hubungan yang erat dalam hal terdapat hubungan ekonomis atau hubungan
kenegaraan dengan Indonesia.
UU
No. 7 Tahun 1983 tentang PPh sebagaimana telah diubah dengan UU No. 17 Tahun
2000 (UU PPh) khususnya dalam pasal 26 diatur bahwa terhadap WP luar negeri
yang memperoleh penghasilan dari Indonesia antara lain berupa bunga, royalti,
sewa, hadiah dan penghargaan, akan dikenakan PPh sebesar 20% dari jumlah bruto.
Pasal ini menunjukkan bahwa contoh adanya hubungan ekonomis antara orang asing
dengan penghasilan yang diperoleh di Indonesia.
Dalam
hukum antar negara terdapat suatu asas mengenai kedaulatan negara yang
dinyatakan sebagai kedaulatan setiap negara untuk dengan bebas mengatur
kepentingan-kepentingan rumah tangganya sendiri, dalam batas-batas yang
ditentukan oleh hukum antar negara dan bebas dari pengaruh kekuasaan negara
lain. Sesuai dengan asas yang dimaksud di muak, maka kedaulatan pemajakan
sebagai spesial dari gengsi kedaulatan negera dapat dinyatakan sebagai
kedaulatan suatu negara untuk bertindak merdeka dalam lapangan pajak.
11.3 Sumber-sumber Hukum Pajak Internasional
Prof.
Dr. Rochmat Soemito dalam bukunya “Hukum Pajak Indonesia, menyebutkan bahwa ada
beberapa sumber hukum pajak internasional, yaitu:
1.
Hukum Pajak Nasional atau Unilateral
yang mengandung unsur asing.
2.
Trakat, yaitu kaedah hukum yang dibuat
menurut perjanjian antar negara baik secara bilateral maupun multilateral.
3.
Keputusan Hakim Nasional atau Komisi
Internasional tentang pajak-pajak internasional.
11.4 Terjadinya Pajak Berganda Internasional
Pajak
berganda internasional umumnya terjadi karena pada dasarnya tidak ada hukum
internasional yang mengatur hal tersebut sehingga terjadi bentrokan hukum antar
dua negara atau lebih. Velkenbond memberikan pengertian bahwa pajak berganda
internasional terjadi apabila pengenaan pajak dari dua negara atau lebih saling
menindih sedemikian rupa, sehingga orang-orang yang dikenakan pajak di
negara-negara yang lebih dari satu memikul beban pajak yang lebih besar
daripada jika mereka dikenakan pajak di satu negara saja. Beban tambahan yang
terjadi tidak semata-mata disebabkan karena perbedaan tarif dari negara-negara
yang bersangkutan, melainkan karena dua negara atau lebih secara bersamaan
memungut pajak atas objek dan subjek yang sama.
Dari
pengertian di atas jelas bahwa pajak berganda internasional akan timbul karena
atas suatu objek pajak dan subjek pajak yang sama dikenakan pajak lebih dari
satu kali sehingga menimbulkan beban yang berat bagi subjek pajak yang
dikenakan pajak tersebut. Selanjutnya Prof. Rochmat Soemitro menjelaskan bahwa
ada beberapa sebab terjadinya pajak berganda internasional, yaitu:
1.
Subjek pajak yang sama dikenakan pajak
yang sama di beberapa negera, yang dapat terjadi karena:
a. Domisili rangkap
b. Kewarganegaraan rangkap
c. Bentrokan atas domisili dan asas
kewarganegaraan.
2.
Objek pajak yang sama dikenakan pajak
yang sama di beberapa negara.
3.
Subjek pajak yang sama dikenakan pajak
di negara tempat tinggal berdasarkan atas wold wide incom, sedangkan di negera
domisili dikenakan pajak berdasarkan asas sumber.
11.5 Cara Penghindaran Pajak Berganda Internasional
Mengingat
besarnya akibat yang ditimbulkan oleh pajak ganda bagi atmosfir perekonomian
dan hubungan antarnegara, maka masalah pajak ganda ini harus segera
diselesaikan. Dan berikut adalah cara-cara penuntasan permasalahan tersebut3,
yang penggunaannya disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan negara yang
bersangkutan.
1.
Cara Unilateral (sepihak)
Penyelesaian
dengan cara ini dilakukan dengan cara memasukkan ketentuan yang dapat
menghindarkan pajak ganda ke dalam undang-undang pajak nasional. Cara ini dapat
dilakukan dengan menggunakan berbagai metode antara lain :
1.
Tax exemption, merupakan merupakan
penghindaran pajak ganda yang umumnya dilakukan oleh negara domosili yang
mempunyai kewenangan pemungutan pajak secara tak terbatas (world wide income).
Dalam hal ini silakukan dengan melepaskan haknya untuk memugut pajak terhadap
objek pajak yang sumbernya atau asalnya dari luar negeri. Dengan demikian hak
untuk memungut pajak diserahkan kepada negara sumber. Metode ini dibedakan
menjadi dua macam, yaitu :
a. Pure
territorial principle
Apabila
suatu negara menerapkan metode ini, maka negara tempat subyek pajak berdomisili
tersebut sama sekali tidak mengenakan pajak terhadap penghasilan yang di dapat
atau diperoleh dari luar negeri. Dengan kata lain, negara domisili melepaskan
haknya untuk memungut pajak terhadap penghasilan yang berasal dari luar negeri
dengan menggunakan asas world wide income.
b.
Restricted territorial principle
Berbeda
dengan Pure territorial principle, Restricted territorial principle memperhatikan
penghasilan subyek pajak yang diperoleh atau berasal dari luar negeri, dan
digunakan untuk menentukan tarif progressif pajak terhadap penghasilan yang
diperoleh subyek pajak dari dalam negeri.
2.
Tax credit
Merupakan
metode pengurangan pajak apabila penghasilan yang diperoleh subjek pajak dari
luar negeri dikenakan pajak baik di dalam negeri maupun di luar negeri (negara
sumber). Pemberian tax credit ini dilakukan apabila jumlah pajak yang dikenakan
oleh negara sumber tidak melebihi jumlah pajak yang dikenakan oleh negara
domisili. Dengan kata lain, tax credit ini hanya diberikan maksimum sebesar
pajak yang dikenakan negara domisili. Metode ini dapat berupa :
a.
Direct tax credit
Metode
ini banyak diberlakukan di negara-negara anglo saxon. Objek pajak dikenakan
pajak di negara domisili dengan menggunakan azas world wide income, dimana
terhadap jumlah pajak itu dapat dikurangkan dengan jumlah pajak yang dikenakan
oleh negara sumber atas penghasilan di negara sumber, asalakan penghasilan itu
sudah termasuk dalam world wide income dari subjek pajak yang bersangkutan.
Apabila pajak yang dibayar di negara sumber lebih kecil daripada yang
dibayarkan di negara domisili, maka dapat dikurangkan sepenuhnya (full tax
credit), dimana hal seperti ini akan baikapabila tekanan dan tarif pajak di
kedua negara bisa seimbang. Apabila tarif di negara sumber lebih besar daripada
di negara domisili, maka dalam hal seperti ini tax credit hanya dapat
diberlakukan sebagian saja (ordinary credit).
b.
Indirect tax credit
Metode
ini dimaksudkan untuk memberikan tax credit kepada perusahaan induk di negara
domisili terhadap pajak yang dibayarkan subordinary-nya di negara sumber.
c.
Fictitious tax credit atau tax sparing
Yang
disebut dengan Fictitious tax credit merupakan perkembangan baru dalam hukum
pajak internasional. Dalam hubungan antara negara berkembang dengan negara maju
sering sekali negara sedang berkembang mempunyai kepentingan untuk mengundang
investor asing dengan memberikan berbagai tax incentive. Salah satunya dengan
memberikan pengenaan pajak dengan tarif yang diperendah dan tidak sama dengan
tarif umum di negara tersebut atau tidak mengenakan pajak sepanjang
keuntungannya ditanam kembali di negara yang bersangkutan. Sementara itu di
negara maju tempat investor berdomisili, pengenaan pajak dengan menerapkan tax
credit terhadap penghasilan yang diperoleh sumber pajakyang berdomisili di
negara itu yang bersumber di negara asing, dimana pengenaan tax credit itu
berdasarkan pada tarif umum yang dikenakan kepada negara sumber. Dari kenyataan
seperti itu maka subjek pajak memperoleh keuntungan ganda, yaitu di negara
sumber memperoleh keringanan pajak atau bahkan tidak dikenakan pajak, sementara
dari negara domisili memperoleh keuntungan karena dikenakan tax credit.
d.
.Reduced rate for foreign income
Merupakan
metode penghindaran pajak ganda yang dilakukan negara domisili terhadap subjek
pajak yang berdomisili di negara tersebut yang bersumber dari luar negeri.
Terhadap penghasilan yang diperoleh atau bersumber dari luar negeri tersebut
dikenakan pajak dengan tarif yang diperingan atau tidak sama dengan tarif umum
yang berlaku di negara domisili itu. Jadi dalam hal ini negra domisili tidak
melepaskan haknya untuk memungut pajak dar penghasilan subjek pajak yang
berdomisili di negara tersebut yang diperoleh dari luar negeri, melainkan
terhadap penghasilan yang bersumber dari luar negeri tersebut dikenakan pajak
dengan tarif yang diperingan (telah diturunkan).
e.
Tax deduction for foreign income
Berbeda
dengan metode-metode yang telah disebutkan sebelumnya, metode ini bukan tidak
mengenakan pajak sama sekali terhadap penghasilan luar negeri (credit of income
againts income), atau mengkreditkannya dengan pajak yang dibayarkan di dalam
negeri(credit of tax againts tax), melainkan dengan memasukkan pajak yang
dibayar di luar negeri dalam komponen biaya. Seperti diketahui bahwa untuk
pengenaan pajak, pada umumnya yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak (tax
base) adalah laba bersih, yaitu laba kotor yang telah dikurangi dengan
biaya-biaya dan pengeluaran-pengeluaran tertentu yang oleh undang-undang
diperbolehkan untuk dikurangkan dari laba kotor.
2. Cara Bilateral (Timbal Balik Dua
Negara)
Yaitu
dengan menggunakan hukum internasional diantara dua negara yang terlibat, yang
isinya menyepakati untuk menghindari pajak ganda internasional. Penghindaran
pajak berganda internasional (tax treaty) seperti itu sering disebut dengan P3B
(Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda). Biasanya di dalamnya menyepakati
tentang hak pemungutan pajak, yang dilakukan secara timbal balik, mengingat
adanya kemungkinan dalam suatu negara diterapkan lebih dari satu asas pengenaan
pajak.
Dengan
P3B sebenarnya ada keuntungan tertentu, yakni persoalan yang berkaitan dengan
pajak ganda nasional pada umumnya dapat terpecahkan hampir secara menyeluruh.
Akan tetapi, bukan berarti cara ini tidak mengandung kelemahan. Kelemahan yang
sering kali muncul adalah tidak mudahnya mencapai kesepakatan antara dua negara
yang saling berkepentingan. Demikian pula terjadinya kemungkinan akan menguntungkan
salah satu pihak.
Secara
umum dikenal dua model P3B. Model pertama adalah model yang disusun oleh komite
fiskal organisasi kerja ekonomi dan pembangunan (organisation for economic
cooperation and development – OECD), sedangkan yang kedua adalah model
berdasarkan konvensi PBB (UN-Model).
3.
Cara Multilateral
Dalam
cara ini, sejumlah negara menandatangani traktat yang isinya menyepakati
penghindaran pajak ganda internasional yang terjadi antara mereka terhadap
subjek pajak atau objek pajak tertentu. Dalam hal ini biasanya hak untuk
mengenakan pajak diberikan kepada negara sumber. Sementara negara domisili dan
negara kebangsaan mengalah seperti halnya konvensi Wina tahun 1961, di dalamnya
juga memuat mengenai kemungkinan dibebaskannya perwakilan negara yang
ditempatkan di negara lain dari pengenaan pajak.
4.
Cara
Kebiasaan Internasional
Cara
penyelesaian ini dilakukan, terutama apabila cara-cara seperti tersebut di atas
tidak dapat ditempuh. Pada umumnya dianut kebiasaan bahwa negara sumber
diberikan hak terlebih untuk memungut pajak, sementara negara domisili dan negara
kebangsaan melepaskan haknya. Hal tersebut dapat dipahamu mengingat negara
domisili dan negara kebangsaan akan memiliki banyak peluang untuk mengenakan
pajak, tentunya apabila negara tersebut menggunakan asas domisili untuk negara
domisili dan asas kebangsaan di negara dimana subjek pajak berkebangsaan.
5.
Kedudukan Hukum Perjanjian Perpajakan
Bagaimana
kedudukan hukum suatu perjanjian perpajakan yang diadakan antara Indonesia
dengan negara lain? Bila ditelusuri dasar hukum bisa diadakannya perjanjian perpajakan
antar negara, maka kita kembali pada konstitusi yaitu pasal 11 ayat (1) UUD
1945 beserta perubahannya. Mengacu pada dasar hukum tersebut, tentu saja akan
memerlukan waktu yang cukup lama. Oleh karenanya, dengan pertimbangan
kepraktisan khusus dalam lalu lintas hukum internasional antara Indonesia
dengan negara-negara lain yang cukup intensif, maka tidak diperlukan lagi
persetujuan DPR tetapi cukup diberitahukan saja.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 11 UUD 1945 di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kedudukan
hukum perjanjian perpajakan adalah sama dengan UU Nasional seperti UU tentang
PPh. Kedudukan hukum perjanjian perpajakan tidak lebih tinggi dari UU
Perpajakan Nasional.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comments:
hallo,thanks for the article yaa. aku copas untuk tugas Hukum Pajak gapapa kan,ya? terimakasih banyak sebelumnya :)
Post a Comment